Sebelum membaca. Ada baiknya Tuan dan Puan pencet tanda bintang di samping kiri, ya. Komen juga. Kalau perlu ngisi kekosongan hati gue juga gak apa.
***
Seperti yang kalian ketahui, sosok Ulfa yang selalu jadi pusat perhatian kini menyendiri di perpustakaan. Keadaan hening membuat otaknya bekerja dengan baik, mengingat kerasnya tamparan Nindia membuat Ulfa seolah terlempar lagi ke kejadian tiga tahun lalu, saat dirinya nyaris mati karena kasus penculikan yang dilakukan rival papanya.
Tak ada lagi sosok jahil maupun genit, yang terlihat hanya sikap tegas dari sorot tajam terus menatap buku tebal di depannya. Kaki terbalut sepatu putih menghentak lantai beraturan, menimbulkan ritme pelan berirama.
"Gue masih belum bisa nerima kenyataan kalau Seno udah gak ada," lirihnya kini menatap langit-langit ruangan sambil menahan sesuatu yang ingin keluar.
"Kenapa, sih, Sen? Kenapa lo harus jadi tameng gue saat ajal di depan mata? Harusnya gue yang mati dibacok, bukan lo!" Ulfa mengerang hebat, memegang kepalanya yang nyaris pecah saking banyaknya masalah yang datang sejak kematian Seno.
Ulfa menarik sudut bibirnya membentuk senyum miris, "Lo tau? Sejak lo gak ada Bang Imran kocar kacir jagain gue, Bang Alfi juga sibuk bikin mood gue balik lagi, jangan lupa sama wartawan no have akhlak yang selalu nangkring di depan rumah hampir lima bulanan."
'Tes ....'
Setetes air mata luruh membasahi pipi, diikuti tetesan lain sedikit membasahi meja. Cewek cantik itu menyimpan wajahnya di atas meja, membiarkan hidungnya mampet karena air mata tak sengaja masuk.
Kesedihan, kesialan, kekecewaan juga stress berat selalu dihadapi dengan suka cita, menciptakan pribadi ceria yang selalu membuat orang ingin menyentil ginjalnya. Ulfa lakukan semua itu hanya untuk menutup kenangan pahit setahun silam, di mana sosok yang amat ia cintai memeluknya tak berdaya, menghembuskan napas terakhir dengan senyum menawan membuat Ulfa merasa hancur sehancur hancurnya.
Ulfa terisak nyaring, membiarkan seluruh bebannya tumpah bersama air mata. Tubuh pun serasa remuk tak bertulang, aneh, setiap kali ia menangis, beban hidup seolah menghimpit paru-paru, menyisakan sesak berkepanjangan.
"Gue pembunuh!" Teriakan nyaring menggema di ruangan lebar tersebut.
"Don't be noisy. Lo gak bisa baca?" tanya seseorang dengan nada lembut tapi penuh sindiran.
"Gue lagi nanges ini, Tan! Bukannya dibujuk juga," cetus Ulfa sambil menatap lawan bicaranya, tangan segera mengelap air mata sialan yang dapat menambah kadar seksi untuk dirinya.
Cowok berkaus oblong itu duduk di kursi depan Ulfa, matanya menyusuri tiap lekuk wajah cewek di depannya sesekali mengangguk seolah dia sedang memahami sesuatu. Yang dipandang cuma bisa diam menormalkan kembali ekspresi wajahnya.
"Lo siapa?" Ulfa mengambil HP dari saku celana tak lupa melayangkan tanya pada cowok tampan di depannya.
"Jodoh lo, maybe." Si cowok memasang muka tengil, matanya terus menatap tak lepas dari wajah ayu di depannya.
"Bisa aja lo, Tan." Ulfa pura-pura tersipu, menutup wajah dengan rambut sesekali terdengar isakan kecil. Tangisnya belum selesai malah di-pause oleh cogan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHASISWI BUCIN (END)
Humor"Pak, kayaknya mata Bapak ini lampu merah, deh." Ulfa menatap Sam sambil tersenyum sebelah. Sam menoleh acuh, "Lampu merah?" "Iya, tiap ngeliatnya saya jadi berhenti terus," sambungnya sambil cengengesan "Mau belajar apa gombal, heh?" tanya Sam jeng...