♥s e b e l a s♥

5.6K 855 109
                                    

Vote-nya Mas, Mbak, Dek, Kak, Mblo!
Kesian bet cerita gue, vote sama yang ngeliat nyaris kayak setara.

***

"Sam, kapan kamu bawa calon ke rumah? Papa gak mau Amir yang gantiin Papa di kampus. Kamu tau sendiri 'kan gimana sifat Amir? Bisa jadi bangunan itu dia jual ke Mark karena dari dulu dia pengen ubah kampus itu jadi diskotik."

Erwin menatap anaknya tajam, mendesak sang anak untuk lekas menikah agar 70 persen harta warisannya jatuh ke tangan Sam selaku anak kandungnya.

Sam hanya mengangkat bahu acuh, ketemu calon aja belum, gimana mau nikah. Mana cewek yang mendekati Sam rada miring setengah sinting pula. Lengkap sudah.

Sejujurnya Sam ingin memilih lajang saja sampai tua, mengingat pernikahan papanya hancur dalam hitungan bulan membuatnya was-was. Apalagi kehadiran orang ketiga yang langsung masuk dalam KK begitu saja membuat Sam lekas pindah negara dan menetap cukup lama di sana.

"Kalau papa lagi ngomong itu didengerin!" bentak Erwin kesal melihat wajah tembok putranya seolah tak menghargai kehadirannya.

Jauh-jauh ke sini hanya dapat muka lempeng? Untung saja Erwin sadar diri, kalau tidak sudah ditempelengnya kepala Sam karena tak sopan.

"Ini didengerin, Pa," dalih Sam menyurutkan emosi papanya.

Saat ini Sam dan Erwin tengah duduk tenang di balkon apartemen milik Sam. Meski tak banyak uang di pegangan, ia tetap mampu membeli apartemen yang seharusnya hanya dapat dimiliki sekitar 30 tahunan, malah jadi hak milik selamanya sebab Erwin turun tangan membantu keuangan anaknya yang suka naik turun karena sedikit dana masuk ke rekening.

Sam mengangkat gelas, mengalihkan pandang ke lampu-lampu jalan di bawah sana. Sam merasa asing dengan papanya sendiri karena sudah belasan tahun tidak bertegur sapa baik lewat telepon maupun secara nyata.

"Papa dapat kabar angin, kamu lagi dekat dengan salah satu mahasiswi di kampus. Iya?"

Sam hanya mengangguk malas, "Iya."

"Kira-kira berapa usianya? Semester berapa? Jurusan? Anak dari keluarga mana? Kaya? Miskin? Cantik? Masih jomlo?" berondong Erwin membuat sang putra tak lagi berselera dengan tehnya.

Sumpah! Sam nyesel bilang iya pas ditanya tadi.

"Papa bosen jadi Rektor, ya? Makanya nanya mulu kayak Dora," cibir Sam jengah, dia merotasi bola mata kala sang papa tampak antusias menunggu jawaban.

"Mungkin 22 tahun, sekarang udah semester 6 jurusan Sosiologi Antropologi, anak mana Sam juga gak tau, miskin, jelek, dekil, kayak babu gak panteslah sama pacarnya yang ganteng itu." Sam jadi emosi sendiri mengingat keakraban Ulfa dengan cowok yang entah siapa namanya Sam pun tak tahu.

Alis Erwin bertaut, "Berarti udah punya pacar, ya. Ya udah kamu cari yang lain aja, lagian gak pantes juga buat kamu, dekil, jelek. Udahlah, gak sepadan, cari aja yang lain." Erwin menyeruput tehnya.

"Sam juga gak suka sama dia. Oh, ya, yang lain itu yang mana, Pa?" Sam gundah.

"Yaaa, misalnya si Rina anak Pak Taryo tukang bubur yang dulu biasa lewat depan rumah. Udah cantik, manis, sopan lagi. Kalau dibandingin sama cewek yang lagi deket sama kamu ini, kira-kira perbandingannya satu banding seratuslah. Gimana? Tertarik?" tawar Erwin membuat alis Sam melengkung ke bawah, jelas pria itu sedang mengingat siapa Rina yang dimaksud papanya ini.

"Biarin aja si Jelek itu bahagia sama pacar gantengnya, gak pantes juga sama kamu."

Membayangkan Ulfa bahagia dan memiliki anak dari pria lain membuat Sam menggigit bibirnya kesal, "Gak! Sam mau yang itu aja." Sam menepuk meja saking geramnya.

MAHASISWI BUCIN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang