Chapter 22; Flaws

1.3K 199 50
                                    

Holaaa~'

Jadi, bagaimana dengan chapter - chapter kemarin? Kalian tampak begitu responsif dan.. ketakutanㅋㅋ

Kalian tenang saja, semuanya akan baik - baik saja.. untuk saat ini. Aduh, aku ga boleh banyak spoiler nii😣😂

Teman - teman, sungguh, terima kasih banyak. Terima kasih karena telah mendukung cerita ini dengan begitu antusias, sebuah perkembangan yang mengejutkan bagi BROTHERS sendiri untuk melihat semua apresiasi ini. Thank you so much😭😭💗💗

Selamat membaca 🌸🌸🌸

.

.

.

.

.

.

Sudah terhitung tiga hari sejak pertengkaran di dapur terjadi dan dalam hitungan yang sama pula Jisung sudah pergi ke sekolah sendirian. Semua tawaran saudaranya untuk mengantar ia tolak. Jisung akan pergi lebih awal dengan sarapan roti yang ia beli di supermarket setiap pulang sekolah. Jisung menghindari setiap interaksi, bahkan untuk membalas sapaan mereka pun, mulut Jisung terasa kaku. Anak itu akhirnya hanya tersenyum tipis selama tiga hari berturut - turut.

Di sekolah, keadaan Jisung tidak jauh berbeda. Ia hanya terdiam sepanjang hari dan sudah cukup untuk membuat Chenle maupun Yuna merasa stres seharian penuh. Keduanya berusaha untuk membangkitkan semua gairah sang sahabat, entah itu dari makanan, permainan, atau yang lainnya, tetapi tidak ada satu pun yang berhasil; Jisung kehilangan semuanya. Jisung hanya ingin sendiri. Namun di saat yang bersamaan, anak itu benci kala lamunan sukses merenggut diri lalu membawanya pada memori di hari itu, atau lebih jauh, pada momen di mana Haechan melukai dirinya sendiri lalu membeberkan semuanya.

Jisung tidak ingin mempercayai mereka lagi.

Di hari kelima melangsungkan perang dingin, Jisung membuka rak makanan rahasianya di pagi hari dengan dahi berkerut bingung. Bukan tanpa alasan, melainkan semua rotinya menghilang. Jika itu satu roti, maka anak itu tidak akan peduli. Akan tetapi, untuk hari ini, Jisung sengaja membeli lima buah karena ia membutuhkan amunisi lebih di pagi hari untuk pelajaran olahraga. Belum sempat ia menutup rak, suara dehaman milik Jaemin membuatnya membeku.

“Kau mau makan apa?”

Jisung bangkit, melirik sang kakak tanpa minat sebelum menggeleng. Ia baru akan melangkah pergi jika saja Jaemin tidak menghadang langkahnya. Sang kakak tidak lebih sekadar menunjukkan tatapan khawatir sekaligus memohon.

“Aku akan meninggalkanmu, aku berjanji. Namun, izinkan aku membuatkan makanan untukmu, oke? Semua rotinya telah kusimpan di sofa depan, kau bisa membawanya saat akan berangkat nanti.”

Jisung ingin protes mengapa sang kakak melakukan hal yang melanggar privasi seperti itu. Namun, dirinya terlalu malas untuk memulai pertikaian yang lain, lebih malas lagi karena harus terlibat dialog yang panjang.

Jisung lantas terdiam, menimbang - nimbang perkataan Jaemin dalam hati dengan sorakan frustasi. Argh, jika saja pagi ini tidak diawali dengan pelajaran olahraga, Jisung mungkin memilih melengos pergi. Akan tetapi, ia tidak bisa melakukannya, ia harus sarapan. Maka berakhirlah anak itu dengan mengangguk dan duduk di meja makan. Suara denting peralatan dapur membuat jantungnya berdegup kencang, entahlah.

BROTHERS - Park Jisung ft 00 lineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang