/Aku merangkak dari tugas - tugas kuliah/
.
.
.
.
.
.
Kembali berangkat bersama Jeno membawa Jisung pada momen di mana ia berangkat pertama kali ke sekolah. Tanpa adanya bercak bibir milik Jaemin di pipi, semuanya berjalan dengan lancar. Anak itu memasang sabuk pengaman lalu diam - diam melirik Jeno yang tengah menyetel radio dengan volume yang menyesuaikan suasana; tidak terlalu besar, pun tidak terlalu kecil. Mereka pun menelurusi jalan utama perumahan tanpa dialog yang tercipta.
Jisung masih menimbang - nimbang untuk berbicara, pikirannya sulit untuk menyudutkan semua presepsi dan menjadikannya sebuah pertanyaan. Tanpa sadar wajahnya tertekuk menatap toko - toko di trotoar jalan; rasa frustasi dalam diam. Kemudian bahunya tersentak saat mendengar suara dehaman milik sang kakak.
“Jisung-ah.”
Anak itu menoleh. “Ya, hyung?”
“Maafkan hyung.”
Awalnya Jisung tidak tahu maksud permintaan maaf tersebut, jadi ia hanya mengernyitkan dahinya tidak mengerti. Namun, sepersekian detik, bagai ditarik ulang, Jisung bisa mendengar gema bentakan milik Jeno di malam itu. Sejak saat itu pula, mereka belum secara resmi menyatakan perdamaian, lagi pula Jisung sudah tidak mengambil pusing lagi akan hal tersebut semenjak kabar bahwa Renjun tengah pergi bersama sang ayah telah ia ketahui. Semua bebannya hilang; Renjun baik - baik saja.
“Aku sudah memaafkan hyung.” Lalu keduanya pun saling melempar senyum.
Seakan tertular, udara di sekitar mereka pun terasa nyaman.
“Keluarkan saja, Jisung. Aku tahu kau memiliki banyak pertanyaan.”
Jisung tidak yakin dengan pasti bahwa ia dapat mengungkapkan isi hati dan pikirannya. Akan tetapi, pernyataan Jeno seakan sebuah sulur yang mengendap - endap mengikat rasa penasarannya. Jisung ingin mengungkapkannya, mengeluarkannya, melampiaskannya. Namun, bisa saja perdamaian tadi berakhir sia - sia.
“Um, Jeno hyung harus janji untuk tidak marah.”
“Hyung janji.”
Karena Jeno dapat dipercaya, jadi Jisung memilih berpihak pada dirinya.
“Kenapa Jeno hyung tidak ingin aku mencari Renjun hyung?” Tanya Jisung disusul kepalan tangan yang kentara; pelampiasan rasa takut.
Jeno sendiri tidak mengatakan apa pun. Pria itu tampak fokus menatap jalanan, tetapi Jisung dapat melihat garis rahangnya mengeras.
“Karena Renjun akan kembali.” Jawab sang kakak sembari memberikannya satu tatapan. Tangannya menggerakkan gigi lalu tangan yang lain memutar stir mobil.
Sadar jika Jisung tidak puas dengan jawaban yang ia berikan, Jeno lantas melanjutkan. “Ini bukan pertama kalinya Renjun tidak pulang, bukan? Dia melakukannya hampir.. setiap hari beberapa tahun yang lalu dan sekitar satu bulan sekali dalam beberapa tahun terakhir. Aku bukannya tidak khawatir, Jisung. Aku hanya.. ingin tidak semua panik.”
Jisung berusaha membaca raut wajah milik Jeno meski itu sangat sulit karena di tengah kefokusannya menyetir. Ia tidak dapat melakukannya, kakaknya sangat pandai menyembunyikan perasaan. Namun, Jisung pun tidak ingin berburuk sangka. Semenjak Renjun menghilang, sudah terlalu banyak prasangka buruk yang mengarah pada Jeno dan ia merasa bersalah atas hal tersebut. Seharusnya ia sadar bahwa menjadi kakak yang tertua memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk adik - adiknya, itulah mengapa Jeno tidak ingin semua orang panik dan khawatir atas insiden hilangnya Renjun. Baiklah, Jisung mengerti sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BROTHERS - Park Jisung ft 00 line
Fanfic[TAMAT] Bersaudara itu tentang komitmen, bukan? Tentang menerima setiap pribadi yang berbeda dan menyatukannya menjadi sebuah kesatuan; keluarga. Jisung belajar banyak hal bersama hyung - hyungnya, tentang dunia yang bukan hanya berkedok istana meg...