Chapter 8; Our Faults

1.4K 211 5
                                    

Holaaaa~'
Aku kembali di tengah liburan ini, hihi. Bagaimana liburan kalian? Apa menyenangkan? Aku harap semua orang bahagia dan baik - baik saja, tetap semangat, yaa💗

Kuberikan hadiah untuk kalian, selamat membaca🌸🌸🌸

.

.

.

.

.

.

Lee Haechan menatap lampu jalan yang berada jauh dari hadapannya dengan mata menyayu. Kegelapan di ruang antar dua bangunan tidak membantu apa pun ketika kau hanya berdiam diri di sana selama hampir satu jam. Pria itu menyalakan ponsel dan melihat waktu telah menunjukkan pukul satu menjelang dua dini pagi. Angin malam yang berhembus lantas membuat sang empu mengeratkan mantel, berharap lapisan - lapisan itu dapat menghangatkan tubuh barang sejenak lebih lama. Haechan memejamkan mata, di kesunyian ini terlalu banyak hal yang dapat terjadi, hanya tingkat kewaspadaan yang kian meninggi seiring munculnya samar - samar suara dari segala arah.

Tidak lama kemudian, terdengar langkah seseorang.

Haechan spontan menoleh, menemukan sosok pria dengan proporsi tinggi penuh balutan pakaian hitam. Dia nyaris tidak melihatnya; raga tersebut bak menyatukan bersama kegelapan malam. Jantungnya seketika berdegup kencang, merasakan sensasi familiar yang mengalir dalam darah. Haechan selalu menyukai bagaimana dia akan menempuh akhir yang sama.

"Apa yang terjadi ketika matahari tenggelam?"

Haechan lantas menegakkan tubuh dan tersenyum kecil. "Semua tikus akan keluar."

Bersamaan dengan itu, sosok tersebut mengeluarkan sesuatu dari balik mantel yang ia kenakan; sebuah kotak kecil berbalut plastik hitam tebal. Kemudian tangannya yang lain mengambil sebuah tas kardus kecil. Pria itu memasukkan kotak kecil ke dalam tas tersebut lalu memberikannya kepada Haechan. Tanpa sepatah kata, tepat setelah berpindah tangan, pria itu berbalik dan meninggalkan Haechan sendirian.

Haechan tidak mengindahkan kepergiannya, ia justru langsung meremas benda di tangan dengan lembut sebelum menyembunyikannya di balik mantel yang ia kenakan. Kegiatannya telah selesai, ia bisa pulang sekarang.

Haechan baru akan beranjak jika saja seseorang tidak muncul di ujung jalan. Sosok itu berdiri di antara dua cahaya yang berbeda; perbatasan. Posteriornya berada di bagian terang, begitupun sebaliknya. Haechan sendiri tidak berkutik, merasakan ketakutan perlahan merengkuh jiwanya. Pria itu sontak berbalik untuk memanjat bak sampah besar dan melompat ke arah tangga penghunian sampai sebuah suara membuat semua kinerja motorik dalam tubuhnya terhenti.

"Lee Haechan."

Melebihi itu, Haechan langsung menggigil. "Renjun..?"

Ia menoleh dengan ngeri, menemukan Renjun menyalakan flash dari ponselnya lalu berjalan mendekatinya. Atas setiap langkah yang ia lihat, Haechan tidak dapat berpikir jernih, kepalanya terus meneriakkan kata lari, lari, dan lari. Namun, tungkai kakinya terasa lemas. Bahkan ketika Renjun telah berada tepat di hadapannya, ia hanya mampu menahan napas.

"Ayo pulang."

Kemudian Haechan bisa rasakan jari - jari mungil Renjun merengkuh pergelangan tangannya; hangat. Ia tidak memberontak kala sang kakak menariknya pergi, keluar dari ruang sempit di tengah kegelapan kota, berjalan menelusuri trotoar bersama lampu - lampu jalan yang kian meredup. Barulah saat itu Haechan tersadar.

BROTHERS - Park Jisung ft 00 lineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang