39 - Ayah

82 6 2
                                    

"Mulai hari ini Ibu Tiara tidak boleh lagi menemui Amanda," ujar Andre membuat Ibu Tiara terperangah.

"Hah?" Ibu Tiara mengepalkan tangan, amarahnya sudah membakar di ubun-ubun. Kalau saja dirinya tidak berada di rumah sakit, pasti Tiara sudah mendorong anak-anak ingusan ini dan menyeret paksa Amanda.

"Amanda apa kamu membiarkan teman-temanmu seperti ini? Aku ini ibumu, bukan? Apa kamu tega pada ibumu ini?" Tiara mengatur napasnya setenang mungkin. Ah, dirinya tak boleh terlihat terpojok. Bagaimana pun, Amanda itu adalah putrinya. Siapa yang berhak memisahkan anak dari ibunya? Memangnya anak-anak ini tahu apa coba?

Tiara menarik napas dalam-dalam kala anak-anak SMA ini malah semakin ketat menjaga Amanda darinya. "Amanda," panggil Tiara lagi dan gadis itu mendongak menatapnya takut. "Kalau kamu melakukan ini, ibu enggak bisa nolongin kamu lagi. Memangnya setelah semua ini selesai, kamu mau kemana kalau bukan sama Mama? Kamu memangnya dapat apa dengan semua ini? Teman-temanmu itu enggak akan pernah bisa memberi apa yang kamu mau!"

Orang yang paling mengenal Amanda adalah ibunya. Orang yang paling mirip dengan Amanda adalah ibunya. Siapa yang berani menyangkal itu? Siapa yang berani menentang fakta itu?

Tiara menepuk-nepuk dadanya dan menatap Amanda lekat-lekat. "Cuma Mama yang tahu apa yang terbaik buat kamu! Dan teman-temanmu malah mau memisahkan ibu dari kamu? Papa udah enggak ada di sini, Adinda juga udah ninggalin kamu! Kamu cuma punya Mama! Kenapa kamu begini, nak? Kamu tega-teganya begini sama ibumu sendiri? Kamu pikir ibu enggak sakit melihatmu begini?"

Hanya aku, hanya aku ibunya. Hanya aku yang Amanda punya. Hanya aku satu-satunya tempat Amanda pulang.

Amanda menggigit bibir. Bagaimana ini? Kepalanya sungguh pusing. Jantungnya terus-menerus memukul dada. Meski kini tangan Firda terus menggenggam Amanda, tetapi rasanya Amanda bisa pingsan kapan saja.

Menghadapi ibunya sendiri, adalah hal terakhir yang tak pernah ingin Amanda lakukan lagi.

"Enggak! Anda salah!" Andre akhirnya angkat bicara. "Amanda enggak sendirian! Amanda juga punya ayah. Amanda juga punya adik! Juga ... Amanda punya kami dan kami enggak akan ninggalin Amanda seperti yang anda lakukan!"

"Berani-beraninya ...." Suara Tiara seketika bergetar.

Pintu kamar terbuka di detik selanjutnya. Semua orang menahan napas kala sosok Dastan masuk dengan didorong kasar. Namun, tak seperti biasa, wajakh Dastan kini membengkak merah keunguan. Tubuhnya tertatih berusaha berdiri dan tatapan tajamnya mengarah pada sosok lain yang masih di luar.

"Kakak!" Tiba-tiba pekikan ceria itu datang dari seorang gadis yang datang bersama rangkulan seorang pria bertubuh besar.

Tiara yang kini menoleh ke belakang pun terkesiap sampai membekap mulutnya sendiri.

"Ama." Firda menggoyangkan tangan Amanda sebab si empunya kini hanya terdiam dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Perlahan Firda tersenyum dan melonggarkan pegangan tangan.

Amanda balas memandang Firda, seolah sedang meminta jawaban. Firda hanya mengangguk pelan.

"Amanda, ini ayah," ucap pria itu tersenyum dan membalikkan segala dunia yang Amanda ingat selama ini.

Lalu entah mengapa kaki Amanda tergerak sendiri. Andre dan Dewa yang berjaga pun membuka jalan tanpa segan. Langkah Amanda perlahan membawanya ke depan. Melewati Dastan yang menatapnya penuh kebencian. Melewati Tiara yang terus berteriak memanggil namanya.

Amanda melewati itu semua begitu saja, hanya untuk ditangkap oleh pria yang selama ini dia rindukan. Lalu kala kehangatan ini mendekap tubuh kurus Amanda, mimpi buruk pun sirna. Semua ini nyata. Semua ini sungguh nyata.

Satu Bayi Empat Hati [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang