4 – Kebimbangan Dari Dewa
Bunyi bel menandakan akhir dari jam sekolah. Secara serempak semua siswa dan siswi keluar dari ruang kelas. Sebagian besar murid yang belum memiliki izin mengemudi, langsung berjalan menuju gerbang sekolah. Sementara murid senior yang sudah cukup umur langsung menuju parkiran di belakang gedung laboratorium IPA. Dewa yang paling girang langsung meluncur dari lantai tiga, tempat di mana semua kelas IPS berkumpul. Dengan sigap langsung saja ia memasang helm dan menyalakan kendaraannya.
Tujuaannya hanya satu. Harus buru-buru supaya Firda tidak menunggu lama!
"Firdaus!" sahut Dewa tak sabar dan berhenti di depan gadis itu. Diberikannya helm satu lagi yang menganggur, dan membantu Firda memasangkannya dengan benar.
"Rasanya aneh," bisik Firda.
Kedua pipi Dewa menghangat. "A-aneh apanya?"
"Dipanggil Firdaus di depan umum," katanya lalu sudah naik ke sepeda motor Dewa.
"Nama kamu cantik gitu kok," balas Dewa dan menarik gas beberapa kali, hingga akhirnya mereka meluncur ke jalan raya.
Namun, lepas mendengarnya, Firda tak merespon sama sekali. Untung Dewa membelanginya, jadi pemuda itu tak melihat wajah Firda yang datar. "Sebelum pulang, kita ke tempat kerja Tante Bina dulu ya?"
"Uh?" Dewa tersentak, "lo mau langsung kasih tahu Tante Bina soal lo lagi hamil?"
"Ya enggak lah!" sembur Firda langsung menarik jaket Dewa kesal, "gue mau ngambil jatah duit aja!"
"Oh, gitu toh," kata Dewa dan menghentikan sepeda motornya tepat sebelum lampu merah.
Kalau dipikir-pikir Firdaus belum bertindak apa-apa soal berita kehamilannya pagi tadi. Dewa, Ama dan Andre sepakat untuk membicarakannya lagi jika Firda sudah siap. Namun, sesampainya di sekolah, DDewa merasa semua temannya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dewa jadi sedikit cemas. Kenyataan karena mereka berempat berbeda kelas dan pasti juga punya kehidupan yang musti diurus.
"Oh ya, ngomong-ngomong Firda masih niat kuliah kedokteran?" tanya Dewa.
"Masih," lirih Firda sementara pandangannya yang sendu pada pepohonan yang terlewat.
"Firda mah terkenal anak IPA paling pinter sih," ujar Dewa kemudian mengambil belokan ke kanan, "gue yakin elo bisa masuk UI."
Firda hanya bisa mengangguk kemudian menundukkan kepala. Tangan kanannya lalu bergerak mengusap perutnya sendiri. "Itu pun kalau dibolehin," bisiknya.
"Hm? Lo bilang apa?" sahut Dewa tiba-tiba.
"Eh? Enggak apa-apa kok!" Bola mata Firda langsung latah, "ah kita dah mau sampai!"
Meski menurut saja, Dewa tahu dari cara bicara Firda terdengar seperti bukan Firda yang biasa. Seolah Firda memang menjaga jarak. Ketika akhirnya sepeda motornya dipinggirkan, Firda langsung meloncat turun dan menyerahkan helmnya. Sebuah gedung putih besar berlantai sepuluh terpampang di seberang. Kaca jendela di muka gedung menutupi hampir keseluruhan badannya hingga cahaya mentari pun bisa berkaca melaluinya. Tampak beberapa staff berseragam putih memasuki gedung. Sebuah tulisan terukir di atas batu marmer hitam, "Rumah Sakit Cahaya Intan".
"Dedew, makasih," ujarnya tersenyum lalu memutar-mutar ujung sepatunya, "lo duluan aja ya, nanti gue pulangnya pesen ojol aja."
Dewa menggeleng. "Gue tungguin kok!"
"Eh ... enggak usah deh, beneran!"
Dewa lalu bilang kalau dia sudah berniat mau bawa Firda pulang dan dia benar-benar serius soal itu. Firda yang juga tak ingin berdebat panjang, memilih mengalah. Dewa masih memasang senyumnya, bahkan ketika Firda berjalan memasuki pintu Rumah Sakit Cahaya Intan. Sementara Firda sudah menghilang dari pandangan, tangan Dewa meremas helm di tangannya dengan erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Bayi Empat Hati [TAMAT]
Ficção AdolescenteSemua berubah ketika tahu Firda hamil saat masih duduk di bangku SMA . . . . . Apa yang bakal kamu lakuin kalau temanmu bilang dirinya hamil? Apa kamu masa bodo saja? Apa kamu mau menemaninya ke klinik aborsi? Apa kamu sanggup membantu temanmu wa...