11 - Nasib dari Anak Hasil Zina part. 2
"Kamu pakai kontrasepsi apa?" tanya sosok perempuan di depan, menanyai dengan nada bosan seolah dia sudah mengucapkan kalimat itu untuk ke sejuta kalinya.
Firda menjawab gugup. "Ko-kondom."
"Cuma kondom?"
Firda mengangguk.
"Sudah berapa kali melakukannya?" tanyanya lagi.
Kening Firda mengerut. "Melakukan apa maksudnya?"
Amanda di sebelah menyikut. "Seks," bisiknya.
Pipi Firda seketika memerah. Tak menyangka sesi ini bakal menanyakan serinci itu. "A-anu ... apa harus saya jawab?" kilah Firda memainkan kesepuluh jarinya yang berkeringat.
Perempuan itu angkat bahu. "Dokter bilang untuk berhati-hati."
Firda memandang Amanda kesal. Namun, Amanda ikut-ikutan mengangkat bahu. Mereka kemari karena rekomendasi Lizzy. Terletak di sebuah perumahan dan dibangun paling ujung jalan sepi. Sangat cocok dijadikan tempat praktek aborsi ilegal. Hal paling mencengangkan, rumah sederhana ini dikelola oleh dokter sungguhan. Entah mungkin beliau sudah gila, Amanda mana peduli amat. Apa yang penting tempat ini sesuai dengan kriteria Firda. Terpercaya dan aman.
Usai Firda membisikkan sebagian jawaban memalukannya ke perempuan resepsionis tadi, dia mengatakan dokter tengah pergi ke luar kota. Kemungkinan seminggu baru kembali dan Amanda sendiri juga sudah bilang Firda di sini untuk membuat janji bertemu. Cukup melegakan Firda sebab dia sangat gugup sejak dari rumah. Memang, aborsi adalah pilihannya dan mengingat hari itu dia akan membuang bayinya. Pikirannya kian memburuk.
Apalagi Dewa tak ada di sisinya. Dia bilang hari ini sudah punya janji sama Andre yang masih marah pada Firda untuk seminggu terakhir. Firda hanya punya Amanda yang menemaninya, tetapi rasanya Amanda sedikit tak acuh sejak tadi.
Tambah buruk lagi, pulangnya dari tempat itu langit mendung dan keburu hujan. Amanda bilang ingin berteduh dulu sebentar di depan warung makan yang sepi, tak jauh letaknya dari tempat aborsi tadi. Di sana terdapat meja dan kursi kayu yang masih tertata rapi, meski tanah berpijaknya agak becek. Amanda memesan segelas teh hangat dan duduk menyeberangi Firda. Mereka sempat mengobrol ringan soal jadwa dokter aborsi dan Amanda bilang dia akan tetap menemani Firda sampai hari H.
"Kira-kira Andre ngajak Dewa buat ngapain ya?" Firda tiba-tiba penasaran.
Amanda mengangkat bahu dan teh hangat yang dipesannya pun tiba. Kalau ini adalah Amanda yang biasanya, pasti dia bakal mengatakan hal-hal lucu tentang Andre yang mungkin mengajak Dewa kencan buat jadi pasangan sesama jenis. Namun, pasti Dewa bakal ngamuk kalau itu alasannya. Mengkhayalkan hal konyol itu malah membuat Firda terkikik sendiri.
"Lo kenapa, Fir?" tanya Amanda terheran melihat tingkah Firda dan menyembunyikan tawanya.
Firda lega mendapat perhatian Ama akhirnya. "Gue bayangin kalau Andre ngajak Dewa hari ini buat kencan," katanya, "tapi pasti Dewa bakalan ngamuk deh terus nyebut enggak mau jadi pasangan mahonya Andre he he he."
Semburan tawa langsung Amanda tahan usai mendengarnya. Napasnya berdegup dalam tawa. Firda bisa tahu Amanda sebenarnya tak ada mood untuk tertawa. Hingga Amanda akhirnya memilih menyeruput teh untuk segera melupakan alasa tertawanya. Lelucon tadi hanya mengirim sejumput kelegaan sesaat.
Firda yang tak tenang pun bertanya. "Lo ada masalah, Ama?" tanyanya dan memandang Ama dengan saksama, "lo bisa nyeritain ke gue, kita kan temen? Gue enggak enak kalau lo yang kerepotan ngurusin gue hari ini padahal elo sendiri ada masalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Bayi Empat Hati [TAMAT]
Teen FictionSemua berubah ketika tahu Firda hamil saat masih duduk di bangku SMA . . . . . Apa yang bakal kamu lakuin kalau temanmu bilang dirinya hamil? Apa kamu masa bodo saja? Apa kamu mau menemaninya ke klinik aborsi? Apa kamu sanggup membantu temanmu wa...