21 – Arti Dari Bertanggung Jawab
Putri menggenggam jemari ibunya dengan erat. Dada ini terus berdebam tak keruan sejak Kak Gusti meminta Putri dan Ibu menunggu di luar kamar rawat Dewa. Padahal tadinya Putri senang Kak Gusti pulang mendadak. Sudah lama tak bertemu, tetapi ya ….
“Put … kakak mau menyampaikan pesan ayah sama Kak Dewa,” ujar Kak Gusti mengusap puncak kepala Putri dengan lembut seperti biasa. “Ngobrolnya nanti dulu ya?”
Mereka sedang ngomong apa ya di dalam? Putri bertanya-tanya.
“Jangan cemas,” ucap Syifa menenangkan anaknya, sementara Putri hanya bisa mengangguk.
***
Dewa menahan erangan sakit mati-matian kala Gusti menjambak kepalanya hingga menabrak dinding. Kala dunia tenggelam dalam warna jingga yang gelap dan redup. Kala napas bumi berubah dingin, Dewa bertahan semampunya di bilik kamar Rumah Sakit Cahaya Intan yang redup. Sementara di depan mata Dewa wajah Gusti begitu datarnya menganggap apa yang ia lakukan sudah biasa. Mendengar rasa sakit Dewa, melihat wajah tersiksa Dewa, meski tahu adiknya masih perlu dirawat, Gusti tidak peduli amat.
“Ayah marah sekali,” lirih Gusti kecewa dan terdengar terluka. “Kalau menjaga Putri saja tidak bisa, lalu untuk apa aku punya tiga anak, gitu kata Ayah.”
Dewa menyeringai. “Emang gue pikirin! Argh!” Tarikan rambutnya makin kencang.
“Dewa, sebaiknya kamu mulai menjaga sikap,” jelas Gusti lembut, “ayah tidak suka, belajarlah bertanggung jawab sebelum lulus SMA, Dewa!”
Lulus SMA kah? Dewa mulai bertanya-tanya. Seperti mimpi saja. Masa remajanya akan berakhir di saat itu. Dewa mungkin tak akan lagi melihat wajah teman-temannya dalam waktu yang lama. Segala rasa sakit yang selama ini bersembunyi akan memperlihatkan wujud aslinya. Dewa tak tahu apakah dirinya bisa bertahan sampai saat itu tiba.
“Keputusan ayah sudah bulat!” Gusti mendorong tubuh sang adik menabrak dinding begitu kerasnya. Namun, perasaan bersalah langsung menghinggapi dan Gusti bergegas mendekati Dewa. Mengusap wajah sang adik seolah ia adalah permata paling rapuh dan Gusti benci setengah mati melihat semua bekas luka di sana.
Dewa memilih diam dengan perlakuan kakaknya yang mungkin membuat siapa saja berjengit jijik, tetapi Dewa tak punya pilihan lain selain tak melawan.
“Kamu tidur sekarang, oke?” Jemari Gusti menelusur ke belakang leher Dewa dan menekan jalur saraf yang ia kenal. Kemudian ditekannya saraf itu, dan Dewa merasakan tubuhnya lumpuh seketika, begitu pula dengan kesadarannya.
***
“Firda, minggu depan Tante mungkin mulai pengobatan kemoterapi,” jelas Tante Bina dengan senyuman lembut dan memberi Firda sisa tumis sayur yang dia masak.
Itu mungkin makan malam paling berat yang pernah Firda hadapi. Di seberang meja, Tante Bina bersikap seperti biasa dan berusaha menjelaskan betapa mudahnya kemoterapi itu. Bahwa itu adalah obat hebat yang telah menyelamatkan banyak pasien kanker terdahulu. Bahwa ini adalah harapan yang layak. Seolah Tante Bina sedang menjelaskan kemoterapi untuk anak TK. Padahal mendengar semua penjelasan omong kosong itu membuat dada Firda kian sesak.
“Iya Tante,” ucap Firda selembut mungkin, “nanti Firda temenin Tante pas berobat ya?”
Firda sudah tahu, ia sudah membaca semuanya dengan teliti. Kemoterapi salah satu pengobatan untuk meredakan sel ganas yang tumbuh tak normal. Ia ampuh membasmi sel ganas seperti kanker, tetapi masalahnya Kemoterapi tidak bisa membedakan sel kanker dan sel sehat. Maka dari itu Firda tahu ketika Tante Bina nanti diberi obat kemoterapi, entah Tante Bina yang akan membalap bersama malaikat kematian ketika semua sel tubuhnya hancur atau membalap bersama sel-sel sehat yang direproduksi kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Bayi Empat Hati [TAMAT]
Teen FictionSemua berubah ketika tahu Firda hamil saat masih duduk di bangku SMA . . . . . Apa yang bakal kamu lakuin kalau temanmu bilang dirinya hamil? Apa kamu masa bodo saja? Apa kamu mau menemaninya ke klinik aborsi? Apa kamu sanggup membantu temanmu wa...