19 - Pemandangan dari Balik Jendela

46 5 0
                                    

Maaf agak lama updatenya, abisnya gegara kelamaan di rumah nenek, dan fokus ngurusin kerabat yang sakit, aku hilang feeling sama cerita ini dan malah dapat ide cerita baru he he. Tapi jangan khawatir, aku mulai bisa nulis ini lagi. Niatku kuat kok nulisnya sampe tamat ^^

Terima kasih sudah membaca :)

19 – Pemandangan dari Balik Jendela

Ada sebuah jendela di tengah kegelapan.

Jendela terang nan putih tanpa bingkai tepat di depan mata Dewa. Dia ingat selalu takut melihat apa yang ada di balik jendela, sampai sekarang pun masih sama. Jendela ini bukan jendela biasa, jendela itu selalu memperlihatkan ingatan kehidupannya yang dulu. Kini jendela itu memberi Dewa sebuah tontonan baru.

Tentang Dewa di masa kecil yang kira-kira berumur lima tahun.

"Kamu ini laki atau bukan?! Dijahilin sedikit saja ngadu ke orangtua! Mau jadi apa kamu kalau lemah begini?!"

Itu suara ayahnya Dewa.

"Bapak sudah ... Dewa masih kecil, Pak."

Itu suara ibunya.

"Dewa begini juga karena kamu terlalu memanjakannya! Kamu kira aku enggak malu bawa teman kerja ke sini dan liat kelakukuan anak kita! Bapaknya tentara, anaknya malah lembek! Pas aku bertugas kamu harusnya ajarin anak ini yang bener!"

Ya, ayahnya seorang tentara. Jarang pulang ke rumah ketika tugas memanggil. Namun, ketika sudah pulang, keluarganya menjadi imbasnya. Konon ayahnya ingin naik pangkat menjadi Jenderal, tetapi sayang tak pernah kesampaian.

"Bapak, Ibu ... jangan bertengkar di depan Dewa. Enggak baik buat anak!"

Itu suara kakak Dewa. Kak Gusti namanya. Umur baru sepuluh tahun, namun untuk beberapa alasan dia memiliki otak cemerlang layaknya orang dewasa.

"Biarin aku jagain Dewa dulu ya, Pak," pinta sang kakak.

Entah mengapa suara itu membuat Dewa yang melihat dari balik jendela, bergidik ngeri. Jangan ... jangan ... jangan ... jangan mau, Pak!

Bapak hanya mendecak dan berkata, "Terserah kamu! Kalau perlu kamu ajarin adikmu itu biar enggak lembek!"

"Baik, Pak," jawab Gusti dan mengelus pundak Dewa kecil. "Kita ke kamar kakak dulu ya?"

Dewa kecil mengangguk.

Dewa di balik jendela menjerit agar semua ini berhenti. Tangannya berusaha meraih jendela, tetapi kaca beningnya menghalanginya masuk. "Jangan mau ke sana!" suruh Dewa pada memori masa lalu itu.

Namun, tak ada lagi yang bisa diubah. Tak ada lagi yang sama sejak hari itu. Masa lalu sudah menjadi tato permanen dalam pikirannya. Walau dipaksa hapus pun bekasnya selalu ada.

Dewa tak akan bisa mencegah dirinya yang dulu masuk ke dalam perangkap itu.

"Shh ... jangan dilihat lagi," bisik seseorang dari belakang dan detik itu pula dua tangan gelap menutupi kedua mata Dewa. "Sudah tidak sakit lagi, jangan cemas."

Kata-kata hangat itu membuat air mata Dewa pecah.

***

"Ah! Kuaci!"

Hah? Kuaci?

"Andre! Jangan pelit dong! Bagi-bagi kuacinya!"

Andre? Kuaci?

"Eh, Dewa dah sadar!"

Suara seorang gadis? Mirip suaranya Firda ... lembut banget suaranya Ya Allah.

Satu Bayi Empat Hati [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang