12 – Sudut Pandang Dari Firda
Bunyi guguran air langit menyepikan segala suara. Waktu hampir berhenti. Hanya segelas teh es. Suara ibu-ibu bergosip di belakang dan mengeluh tentang atap rumahnya yang bocor. Dan, nama seseorang yang tak pernah Firda duga akan dengar sehampa ini.
"Dewa?" Firda tersenyum dan mengira Amanda sedang bercanda.
Kening Amanda mengerut. "Masalah?"
Entah mengapa jemari Firda terasa beku seketika. Perlu lima detik bagi Firda untuk sadar dan menggeleng segera. "Dewa ... teman kita ... kan?"
Amanda memainkan sedotan es tehnya dan berkata, "Iya, Dewa temen kita," jawabnya dan gadis itu menarik napas dalam-dalam, "gue ... gue cuma aku hanya mengatakan ini karena elo akhir-akhir ini elo deket sama Dewa. Jadi gue pikir ...."
"E-enggak! Kami enggak begitu, kok!" Firda langsung menyerepet.
"Lo yakin?" lirih Amanda, "abisnya kalian berduaan terus dan gue pikir lo naksir Dewa ...."
Firda menggeleng. "Ama ... gue sama Dewa cuma temen, suer," dalihnya.
Amanda memilih mengaduk teh esnya dengan sedotan. Pundaknya terangkat dan dia berbisik, "Kalau lo bilang gitu ...."
Kenapa malah dadanya terasa sakit? Firda membatin. "Tapi," ujarnya, "kalau elo mau pedekate sama Dewa, gue bakal bantu!"
Binar mata Amanda langsung berbeda. "Lo ... mau bantu gue?"
"Ya, tentu dong!" Firda memaksa bibirnya nyengir. "Gue paham Dewa cowok yang baik dan kalo elo suka sama dia ... kenapa enggak? Kan banyak pasangan awalnya dari temen?"
Kemudian entah mengapa, hujan seketika berhenti setelah Firda mengatakannya. Matahari yang awalnya bersembunyi di balik kapas kelabu, keluar begitu saja. Dengan senyum lebar, Amanda mengajak Firda pulang bersama. Taksi online tak perlu waktu lama untuk menjemput mereka. Amanda pun mulai mengobrol soal mungkin ada baiknya mereka membeli martabak dan memakannya di rumah Firda nanti. Firda mengangguk saja sepanjang pulang hari itu.
Ironisnya, Amanda masih begitu riang mengajak Firda bicara, seolah lupa kalau mereka tadinya singgah di tempat aborsi.
***
"Lo kenapa kesemsem mulu dari tadi?" tanya Alea dengan nada menyebalkan seperti biasa.
Amanda balas tersenyum dan duduk di sisi Tania. "Emang enggak boleh?" katanya dan kembali memperhatikan asal bunyi deru sepeda motor yang baru berhenti tak jauh dari mereka.
Malam kian dingin bersama angin, tetapi itu tak menghentikan sorak sorai di salah satu sudut jalan. Rupa-rupanya malam itu adalah pertandingan balap liar salah satu siswa SMAN 2 dan SMAN lain. Sudah memang sejarah lama ada semacam perang dingin antara siswa, dan balap liar adalah kesepakatan bersama.
Entah siapa yang memulainya, hal itu menjadi tradisi tiap malam minggu. Bukan hanya untuk terlibat pada pertunjukan balap liar saja, tetapi juga sekaligus menjadi ajang mencari pacar. Namun, bagi beberapa orang seperti Tania itu menjadi ladang mencari duit.
"Langsung pakai sekarang ya?" ucap Tania dengan wajah datar, memberi pelanggannya kotak permen yang menyembunyikan bubuk putih di dalamnya.
Lizzy yang tadinya memainkan ponsel ikut memperhatikan gelagat Tania yang kembali duduk di atas kap mobil mewahnya. "Gue enggak ngerti deh," ujar Lizzy dengan nada menyindir, "lo kan udah kaya, kenapa malah jualan barang gituan, Tan?"
"Bokap gue enggak mau kasih gue duit jajan," jawab Tania dingin, "tua bangka sialan mau ngabisin duitnya sama bini muda mah kerjaannya."
Memang sudah kebiasaan agar jangan memancing Tania membahas orangtuanya. Maka dari itu Lizzy langsung bergidik sendiri dan meminta ampun. Alea terkekeh dan menggeleng. Tak banyak percakapan yang terjadi di antara mereka, hingga kemudian kerumunan kerumunan cowok dari SMAN 2 lewat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Bayi Empat Hati [TAMAT]
Ficção AdolescenteSemua berubah ketika tahu Firda hamil saat masih duduk di bangku SMA . . . . . Apa yang bakal kamu lakuin kalau temanmu bilang dirinya hamil? Apa kamu masa bodo saja? Apa kamu mau menemaninya ke klinik aborsi? Apa kamu sanggup membantu temanmu wa...