"Sebenarnya yang kita nolongin Firda itu bener enggak sih?" lirih Amanda saat melihat Tante Bina dibawa oleh para petugas rumah sakit. Dokter Lukman yang paling berjasa mengarahkan rekannya serta mencegah para pasien dan tamu untuk tidak berkerumun. Selama beberapa menit kegaduhan itu akhirnya mereda.
Hari itu berakhir tanpa satu pun dari mereka diperbolehkan menjenguk Firda. Ditambah lagi kejadian Tante Bina pingsan sampai ke telinga Ibu Kiky selaku guru perwakilan dari sekolah ikut menegur Dewa, Andre, dan Amanda.
"Kalian harusnya lebih berhati-hati." Ibu Kiky menghela napas dan melirik ke arah Amanda. "Terlebih kamu, Amanda. Walau kamu bukan lagi murid di sekolah Ibu, kamu harusnya fokus ke pengobatan rehabilitasi. Kamu masih belum bersih kan?"
Amanda baru ingin membuka mulut, tetapi menyadari mereka kini duduk di kantin rumah sakit yang ramai dengan pasien dan staf rumah sakit, gadis itu pun memilih enggan bersuara. Matahari sudah melewati puncak hari. Meski di dalam ada pendingin ruangan, tetapi dari luar jendela silau cahayanya sungguh membutakan.
"Ibu Sabrina juga meminta agar orangtua kalian diberitahu," ucap Ibu Kiky selanjutnya yang sontak membuat ketiga remaja itu syok. "Untuk sementara kalian tidak diperbolehkan menjenguk Firda dan ikut campur sama masalahnya."
Dewa langsung berdiri dan menggebrak meja. Matanya tajam lurus menusuk pada Ibu Kiky yang menyilangkan tangan di dada dengan tenangnya.
"Dewa, duduk," titah Ibu Kiky.
"Ibu enggak berhak ngelarang kami!" geram Dewa mengepalkan tangannya sampai buku-buku jarinya bergetar. "Firda itu teman kami dan kami cuma pengen ngenolong dia!"
"Seandainya kalian teman yang baik, seharusnya kalian memberitahu orang dewasa!" balas Ibu Kiky. "Seandainya apa yang terjadi sama Firda bisa ditangani lebih cepat, dari awal anak itu tidak perlu sampai mengalami kecelakaan dan masuk ke rumah sakit."
Dewa mematung seketika.
Ingatan tentang bagaimana Dewa harus menggendong Firda yang berdarah-darah ke luar sekolah terpatri bagai film lama.
Ingatan tentang kepala sekolah yang melarangnya mendampingi Firda ke rumah sakit, membuatnya jengkel.
Ingatan tentang Tante Bina yang menamparnya setelah Dewa mengaku ingin bertanggung jawab, membuat dadanya berdenyut nyeri.
Kenapa ya? Kenapa tidak ada yang mengerti?
"Dedew, duduk," pinta Andre menarik ujung kaos Dewa. Sejak insiden Dewa berkelahi dengan Rizal dan berakhir mengamuk, Andre semakin tahu betul bagaimana gelagat Dewa yang asli. Kadang Andre merinding sendiri membayangkan bagaimana bisa pemuda di sampingnya ini adalah sahabat masa kecilnya. Namun, bagaimana pun situasi ini harus dihadapi dengan kepala dingin.
"Ibu Kiky," sahut Andre menundukkan kepala kemudian. "Kami minta maaf sebesar-besarnya. Kami memang pantas dihukum."
***
"Kenapa lo ngomong kek begitu?" Dewa mendorong Andre hingga punggungnya menabrak dinding saat hanya tinggal mereka bertiga tertinggal di lorong rumah sakit yang sepi.
"Kita enggak salah apa-apa, kita cuma mau nolong Firda, terus kenapa kita yang dihukum?!" Dewa membentak kasar.
Amanda yang panik segera menepis tangan pemuda itu dari Andre. "Tapi emang bener seharusnya kita bilang ke Tante Bina soal kehamilan Firda ...." Tangan gadis itu bergetar dan matanya menatap lantai, takut berhadapan langsung dengan Dewa yang murka. "Dew, lo e-enggak kepikiran kalau sekarang mungkin gara-gara kita Firda sama anaknya ...."
"Jangan pernah ngomong begitu! Firda bakal baik-baik aja!" Tiba-tiba Dewa berdesis menyentak Amanda. Suara kasarnya bergema pahit. "Lo kalo ngomong tuh dijaga, Ama!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Bayi Empat Hati [TAMAT]
Ficção AdolescenteSemua berubah ketika tahu Firda hamil saat masih duduk di bangku SMA . . . . . Apa yang bakal kamu lakuin kalau temanmu bilang dirinya hamil? Apa kamu masa bodo saja? Apa kamu mau menemaninya ke klinik aborsi? Apa kamu sanggup membantu temanmu wa...