6 - Arti Dari Dusta

76 10 0
                                    

6 – Arti Dari Dusta

Rasanya seperti mendesis masuk dan mengalir dingin dari ujung jarumnya. Menyesap melalui aliran darah. Menyusup ke tiap benang saraf. Amanda mengembuskan napas dan menyandarkan punggung ke dinding. Meresapi tiap sensasinya yang menyengat manis bagai air soda. Ah, kalau bisa berdo'a, Ama ingin semua makanan terasa seperti ini.

Kalau makan ini saja, pasti ... Ama mau hidup lebih lama. Untung tadi sempat bawa satu di saku celana jeans. Kalau tidak, bisa-bisa Ama jadi gila semalaman.

"Ama, bagaimana kalau kita berteman dengannya? Dia kayaknya kesepian tuh!"

Hanya satu kalimat itu, seluruh hidup Ama rasanya makin sesak saja. Kalau tidak salah, itu terjadi tak lama setelah perceraian kedua orangtuanya. Umurnya sekitar enam atau tujuh tahun. Rumah rasanya sepi setelah hak asuh dibagi. Mama mendapat dirinya, dan Papa mendapat adiknya, Adinda. Mama tidak bicara padanya berhari-hari. Makan pun roti dan selai saja.

Namun, selama di sekolah, Ama sebisa mungkin tetap memasang senyum. Apalagi dirinya dulu akrab dengan Dewa karena kalau di kelas, Ama duduk di belakangnya. Sedang Andre duduk di sebelah kiri. Dulu Ama ingat dirinya agak bodoh, jadi sering menyontek dua anak itu.

Hingga suatu hari, guru wali kelas mengenalkan gadis kecil manis nan lugu yang tak pernah Ama lihat sebelumnya.

"Anak-anak, ini teman baru kalian," kata beliau, "namanya Firdaus Wardah, nanti dia duduknya di sebelah Dewa ya?"

Kadang, Ama ingin sekali mengutuk guru SD-nya yang dulu malah menempatkan Firdaus duduk di sebelah Dewa.

"Ama, sudah ganti bajunya?"

Udah dari tadi.

"Udah kok, Fir!" balas Ama.

***

Karena Tante Bina tidak pulang, Firda memutuskan tidur sekamar dengan Ama. Apalagi mengingat ranjang beliau lebih besar. Dengan dibantu Ama, mereka merapikan kamar yang berserakan pakaian Tante Bina yang berserakan. Menyapu lantainya dan juga mengganti sprei.

"Nah, tinggal bobo aja deh!" ujar Firda dan langsung lompat ke ranjang, merebahkan diri.

Ama duduk di tepi dan kemudian berkata, "Firdaus, lo udah mikir ke depannya mau gimana?"

Kepala Firda meneleng bingung. "Depan?"

Terdengar bunyi decakan. "Ck, lo lupa kalo elo tuh hamil?" sindir Ama.

"Enggak dong." Firda nyengir lebar yang pasti jika Dewa melihatnya, dijamin klepek-klepek.

Ama ikut tiduran di samping FIrda. "Terus lo udah mikir bayinya mau diapain?"

"Enggak tahu," jawab Firda dengan entengnya kemudian mengelus perutnya, "tapi ... gue enggak mau jadi ibunya, mungkin adopsi kali ya?"

"Lo kira gampang?" geram Ama, "empat bulan lagi kita UN, lo yakin perut lo masih kecil aja?"

"Kan bisa ditutupin jaket?" dalih Firda yang membuat Ama terpikir sepintar-pintarnya Firda, gadis ini terlalu naif.

"Lo mau nutupin ini sampe akhir? Tanpa kasih tahu Tante Bina?" tegas Ama tak percaya, "terus elo masih mau pake rencana adospsi?"

Firda mengangguk. "Kan gue punya kalian, elo, Dewa dan Andre. Kalo ada kalian, gue yakin bisa kok!"

Mati-matian Ama menahan tangannya agar tak melayangkan tamparan ke wajah polos yang mengesalkan itu. Setelah fakta bahwa Firda hamil dan bahkan punya pacar, fakta lain bahwa Firda tidak pernah bilang apapun sebelumnya. Juga fakta memuakkan bahwa Firda malah menyeret semua atas kesalahannya sendiri, bukankah itu namanya egois? Atau manja?

Satu Bayi Empat Hati [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang