"Ndre, mulai sekarang kamu jangan lagi bergaul sama Dewa, Ama dan Firda ya?" Diana memandang putranya yang kini membatu. "Mama mohon."
Tenggorokan Andre kering. Ingin dia bersuara, tetapi waktu terasa berjalan lambat. Ibu yang ia kenal tak pernah melarangnya berteman dengan siapapun.
"K-kok Mama ngomong begitu?" Andre memaksakan pita suaranya keluar.
Diana memperlihatkan wajah masam. Bibirnya membuka ingin mengatakan sesuatu, tetapi Diana sadar apapun yang ia katakan sekarang, Andre pasti benci mendengarnya.
"Itu cuma opini Mama, enggak penting," ucap Diana alih-alih menyatakan alasan dan justru membalikkan badan. "Ujung-ujungnya pasti kamu enggak mau dengerin Mama."
Tubuh Andre otomatis bergerak dan pemuda itu berusaha meraih tangan ibunya. "Tapi itu opini Mama soal temen Andre, jadi itu penting!"
Diana kembali menghadap putra kesayangannya. "Terus kamu ikhlas denger Mama bilang teman-temanmu itu bawa pengaruh buruk buat kamu?" balas Diana nyaris kehilangan kesabaran.
"Andre paham kalau yang kami lakukan itu salah, Ma." Andre memohon.
Diana menggeleng. Selamanya anak ini tidak sedikit pun memahami bagaimana rasanya berada di posisi dirinya atau bahkan Tante Bina. Jika dipikirkan dengan akal sehat, anak-anak ini berbohong dan menyembunyikan kehamilan Firda selama berbulan-bulan. Lebih parah lagi mereka bersikap seolah tidak ada apapun yang terjadi.
Ya Tuhan, orangtua mana yang mendidik anaknya jadi begitu?
Orangtua mana yang berharap anaknya begitu?
Menjadi tidak jujur, menjadi anak yang tidak memercayai orang dewasa, menjadi anak yang seolah membenarkan dosa.
Orangtua mana yang rela melihat anaknya begitu?
"Ndre." Diana melunakkan suaranya. Dia tahu sudah cukup membentak memarahi Andre atas apa yang terjadi. Diana hanya ingin anak ini memikirkan satu hal. "Waktu Mama dikasih tahu soal perbuatan kamu, jujur Mama itu marah. Mama marah banget pokoknya. Tapi ... yang paling menohok di hati Mama itu, kamu bikin Mama takut, Ndre. Mama takut kamu bukan anak yang Mama kenal. Mama takut kalau selama ini sia-sia Mama besarin kamu habisnya semua yang Mama ajarin enggak kamu turutin."
Di detik itu pula Diana bisa melihat ada setitik air mata jatuh melewati bingkai kaca mata Andre. Pemuda itu membisu dan sesak dada Diana melihat anaknya demikian. Diana tahu Andre itu pintar, dia punya pikiran dan pendapatnya sendiri. Diana juga sadar dia bukanlah orangtua yang memiliki latar belakang sepintar itu. Apa yang bisa ia lakukan hanyalah jujur soal perasaannya dan membiarkan Andre memikirkan sendiri apa yang dirinya rasakan sebagai seorang ibu.
"Kalau kamu masih mau temenan sama mereka, Mama enggak bisa larang kamu." Diana mengusap pelan pipi Andre. "Udah cukup kamu bohongin Mama. Mama enggak mau kamu benci sama Mama."
Lagi pula, suatu hari nanti setelah Andre lulus SMA, atau lulus kuliah, ketika Andre sudah sepenuhnya dewasa mungkin dia akan melupakan teman-temannya. Diana tahu betul sebab itu pula yang ia alami ketika sudah bertambah umur, pada akhirnya teman-teman masa mudanya tak lagi terlihat batang hidungnya dan saling melupakan.
Andre menggigit bibirnya bahkan saat Diana mendekapnya untuk sejenak untuk mengucapkan selamat malam. Berkat pembicaraan ini, sungguh ampuh membuat Andre tak bisa memejamkan mata sampai matahari terbit menjelang.
***
"Bapak dengar kamu terlibat keributan dengan salah satu keluarga pasien, apa itu benar?" tanya seorang lelaki dengan rambut kelabu. Tubuhnya yang agak gempal dibungkus oleh jas putih sama seperti Dokter Lukman. Beliau sibuk memperhatikan layar komputer dan tak sedikit pun melirik sosok lelaki lain yang berdiri di seberangnya. Memperhatikan gerak-geriknya dengan hampa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Bayi Empat Hati [TAMAT]
Novela JuvenilSemua berubah ketika tahu Firda hamil saat masih duduk di bangku SMA . . . . . Apa yang bakal kamu lakuin kalau temanmu bilang dirinya hamil? Apa kamu masa bodo saja? Apa kamu mau menemaninya ke klinik aborsi? Apa kamu sanggup membantu temanmu wa...