3 – Duri Dari Dalam
Bola menyentak ring begitu kerasnya kala tangan itu memilih menggantung di sana, membiarkan sang bola tertarik oleh gravitasi.
Dewa tersenyum lebar dan bahkan sempat-sempatnya memberi salam dua jari dengan satu tangannya yang menganggur. Seluruh penonton wanita pun langsung bersorak dan memanggil nama Dewa berkali-kali. Sementara sang idol lapangan, melompat hingga kaos birunya berkibar dan menampakkan bentuk perutnya yang gagah nan terjaga. Mungkin bukan bentuk roti sobek sebab Dewa tidak seatletis itu, tetapi sekilas melihat bentuk perutnya saja, fans Dewa kembali histeris.
Dewa kemudian berlari ke sisi lapangan yang berlawanan di mana kini lawan yang berkaos merahlah yang menguasai sang bola jingga. Bunyi gedebuk pantulannya, menggetarkan bulu kuduk dan memberi pesan jelas serangan Dewa tadi sudah memancing amarah mereka.
Salah satu rekan tim kaos biru melesat dan menghadang lawan yang lebih tinggi. Bola ditangan sang lawan menari dari kanan dan ke kiri. Sebuah seringai mengangkat otot wajahnya dan dalam detik itu pula tubuh pemuda itu berputar searah jarum jam. Waktu melambat dan meski sudah sadar gerakan lawan, meteor itu tetap saja tak teraih.
Dewa mendecak, tetapi ia tak akan kesal. Lawan mereka kali ini memang kuat.
"Kak Dedew!" sahut Riky, salah satu anggota junior berlari di samping Dewa.
Dewa menoleh dan melihat tatapan Riky yang masih memiliki mata yang menyala-nyala akan api semangat. Hal itu membuat tak bisa menahan senyum dan hatinya kembali membuncah jiwa senior yang harus memberi contoh yang baik. Padahal sepuluh menit lagi babak ini akan berakhir, skor antara tim lawan sangat jauh. Rasanya tidak mungkin untuk membalikkan keadaan sekarang.
Namun, jika junior kecilnya saja masih tak ingin menyerah, Dewa tak punya pilihan lain selain mendukung generasi yang lebih baik ini. Semuanya dipertaruhkan dalam sepuluh menit!
"Ayo, Ky!" ajak Dewa dan mereka sudah berlari ke tengah lapangan.
Firda tercenung melihat wajah Dewa dan buku dalam pelukannya makin merapat ke dada. Karisma Dewa betulan kelihatan kalau sudah berada di lapangan, semua orang pasti bisa melihatnya. Basket adalah sahabat kedua Dewa sejak kecil. Firda ingat sekali pertama kali mengenal Dewa, anak itu selalu saja mengajaknya bermain bola atau berlari mengejar bola. Namun, jika harus terjatuh hingga lututnya terluka, atau Firda terlalu lamban mengejar kecepatan Dewa, lelaki itu tak akan meninggalkan temannya di belakang.
"Kak Firdaus, apa kabar?" sapa salah seorang siswa junior dengan senyum malu-malu lewat di depan Firda, meyusul bersama dua teman lainnya.
Firdaus balas tersenyum. "Baik kok."
Tiga siswa itu langsung cekikikan setelahnya. "Gila! Dia bales!" ujar salah seorang dari mereka.
"Gue deg-degan cuy! Tapi kalau disenyum Kak Firda, langsung adem deh!"
Masa muda memang demikian indah ya?
Pintu di samping Firda yang bertuliskan ruangan kepala sekolah itu seketika terbuka. Sosok Andre yang menggarukkan belakang kepalanya, keluar dan mendapati Firda masing menunggu.
"Bagaimana?" tanya Firda dengan suara halus khasnya.
Andre nyengir dan mengacungkan jempolnya. "Proposalnya diterima!" jawabnya, "makasih ya, Fir. Udah bantuin gue!"
"Baguslah!" Firda lega dan kembali melihat pertandingan Dewa di seberang.
Andre mengikuti dan tersenyum. "Lawan Dewa kali ini siapa?"
"SMAN 4," jawab Firda, "tapi gue yakin Dewa bakal menang."
Penonton bersorak ketika tim mereka berhasil mencetak tiga poin lagi. Andre sampai bersiul melihat Pandu teman sekelasnya, melompat tinggi dan menembak bola jingga itu bagaikan meteor tepat menuju ring dari jarak sejauh seberang lapangan. Dengan tangan besar dan tubuh tinggi, Pandu dan Dewa menjadi monster tim basket SMAN 2.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Bayi Empat Hati [TAMAT]
Teen FictionSemua berubah ketika tahu Firda hamil saat masih duduk di bangku SMA . . . . . Apa yang bakal kamu lakuin kalau temanmu bilang dirinya hamil? Apa kamu masa bodo saja? Apa kamu mau menemaninya ke klinik aborsi? Apa kamu sanggup membantu temanmu wa...