Aku terus terdiam didepan cermin dengan kedua mata bengkak karena tidak berhenti menangis sejak pulang dari toko kue. Aku seperti tidak memiliki tujuan hidup lagi. Kak David pergi walau dia akan kembali, namun saat ini aku tidak ingin Kak David pergi. Jesika juga pergi, bahkan aku tidak tahu dia akan kembali atau tidak. Nomor handphone nya pun kini sudah tidak aktif lagi, dan hal itu makin membuatku sedih.
Arah pandanganku beralih melihat kotak pemberian Kak David disudut meja belajar. Aku melihatnya cukup lama dan saat aku ingin mengambil kotak itu, aku teringat ucapan Kak David yang melarangku untuk membukanya sampai dia kembali datang.
Aku menghela napas pendek, melihat jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Aku tahu besok Kak David akan berangkat. Aku tahu sekarang adalah hari terakhirku untuk melihat Kak David. Aku masih marah pada Kak David karena baru memberitahuku tadi sore. Kenapa? Kenapa Kak David tidak memberitahuku lebih dulu?
Akh! Kepalaku seakan mau pecah. Aku ingin menemui Kak David. Aku akan sangat merindukannya.
Aku bangkit dari tempat duduk, mengambil jaket pemberian Kak David untukku pakai. Melangkah dengan cepat untuk keluar dari dalam kamar, lalu akan menghampiri Kak David karena ingin melihatnya.
Namun saat aku tiba di ruang tamu, dan akan membuka pintu utama. Aku malah menahan diri. Aku kembali berjalan masuk kearah dapur. Mood ku sangat berantakkan. Aku seperti tidak mengenal diriku sendiri.
Brahmata yang baru saja pulang dari kantor—melihat anak keduanya yang tengah duduk sendiri di meja makan dengan tatapan kosong.
Brahmata berjalan menghampiri Mika setelah menaruh tas kerjanya di sofa ruang tamu.
"Ada masalah apa?" tanya Brahmata ketika tiba disisi anaknya. "Nggak biasanya kamu kaya gini." Lanjutnya seraya merangkul buah hatinya.
"Apa gara-gara temen kamu pindah?" tanya Brahmata yang mengetahui tetangga barunya sudah tidak lagi menempati rumah didepannya.
"Bukan hanya itu, Ayah." Balasku seraya menyandarkan kepala.
"Terus?"
Aku menghela napas pendek sambil berkata. "Kak David mau PKL dan dia baru ngasih tau aku tadi sore."
Brahmata memberi ekspresi bertanya, mengisyaratkan bahwa tidak akan terjadi masalah bukan jika David pergi?
Aku berdecak, menjauh dari tubuh Ayah lalu menatapnya kesal. "Ayah, kenapa Kak David baru kasih tau aku? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin."
"Kamu marah?"
"Nggak juga," balasku cepat.
Brahmata menarik napas dalam, mengelus kepala putrinya lembut. "Sekarang, kamu temuin Kak David. Kamu bicarakan semua kekesalan kamu dan apapun yang berada dipikiran kamu. Oke."
"Supaya kamu tenang," ucap Brahmata lagi ketika Mika hanya diam dengan tatapan kosong. "Jangan sampai menyesal,"
"Dengar apa kata hati kamu yang paling dalam," ujar Brahmata lagi.
Aku menghela napas panjang, melihat kedua mata Ayah meminta persetujuan atas apa yang akan aku ambil.
"Ayah akan selalu dukung kamu," yakin Brahmata.
"Mika_akan kerumah_Kak David," ungkapku dengan perlahan.
Brahmata mengangguk seraya tersenyum tipis. "Semangat,"
Aku ikut tersenyum tipis—bangkit dari kursi lalu menuju keluar untuk menemui Kak David. Ya benar, ucapan Ayah. Aku harus menemui Kak David untuk menanyakan semua pertanyaan yang sudah menumpuk didalam kepalaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Farmasi & Perawat
Любовные романы♡ Farmasi & Perawat ♡ Cerita ini hanya tentang keluargaku, sahabatku, dah dia... Dia yang membuatku harus memilih menjadi peran antagonis atau protagonis. ♡ Farmasi & Perawat ♡ Banyak kata-kata toxic (Jangan ditiru, hehehe) Ambil sisi baik nyak aja...