Febi hanya bisa menghela napas panjang seraya sesekali menutup mata dan menengadahkan kepalanya, melihat bulan yang bersinar cukup terang namun tidak ada satu pun bintang di atas sana. Mungkin sebentar lagi langit akan menurunkan gemericik air hujan—seperti mengerti dengan kondisinya saat ini. Rasanya begitu menyesakkan, namun ia tidak ingin menangis karena akan membuat Bunda-nya makin khawatir dengan kondisinya.
Febi sangat frustasi memikirkan cara supaya David bisa mendengarkan alasan kenapa ia bisa pergi begitu saja. Febi mulai putus asa, ia sudah lelah selama ini selalu David tolak ketika akan menjelaskan keadaanya dulu. Tetapi Febi tidak boleh pantang menyerah, ia harus terus mencoba supaya David tidak salah paham lagi.
Febi pun tidak ingin hal seperti ini terjadi, namun takdir berkata lain. Keadaan lah yang memaksa Febi untuk pergi. Ia harus meninggalkan kota kelahirannya untuk menjalani prosedur perawatan. Selama satu tahun Febi berada di Negeri Kincir Angin karena permintaan kedua orang tuanya.
Ketika Febi berada di danau bersama David seperti biasa yang mereka lakukan sehabis pulang sekolah. Febi merasa sangat senang, seakan dunia ini hanya milik mereka berdua. Terdengar sangat lebay, namun itu lah yang dirasakan oleh nya saat itu.
David membawa Febi untuk bersandar pada bahunya, menikmati angin di sore hari di sertai pemandangan danau yang dikelilingi oleh pepohonan. Kehidupan David berubah menjadi lebih berwarna ketika bersama Febi, hari-hari yang dilalui nya begitu menyenangkan, begitupun sebaliknya.
"Ketika nanti kita lulus terus nggak satu sekolah, apa yang bakal lo lakukan?" tanya David memandang Febi.
Dahi Febi sedikit berkerut ketika mendengar pertanyaan itu, sudah sangat jelas Febi akan mengikuti kemana pun dia pergi. Alasan kenapa ia bisa melakukan hal itu, tidak lain karena dirinya sangat menyukai David. Febi menyunggingkan senyuman manis, lalu berkata.
"Gue akan selalu kembali ke lo, David. Kemana pun lo pergi gue akan menemukan keberadaan lo. Jadi lo nggak perlu khawatir kehilangan gue," balas Febi melihat bola mata David dalam.
Mereka terdiam cukup lama, keduanya hanya menikmati keheningan yang begitu menenangkan. Kedua tangan Febi melingkar indah di pinggang David, begitu pun sebaliknya. Kedua tangan David merangkul bahu Febi dengan erat. Menandakan bahwa hanya David lah orang yang bisa memiliki Febi selamanya.
Tanpa Febi sadar ada satu tetes darah keluar dari hidungnya. David yang mengetahui hal itu langsung panik dan meminta Febi untuk segera duduk tegak di kursi yang tersedia di sana. "Kenapa?" tanyanya dengan mimik wajah khawatir.
Febi segera mengambil tisu yang selalu ia bawa kemana-mana, sebab kejadian seperti ini sudah sering terjadi. Febi tidak tahu penyebab ia sering mimisan. Dirinya hanya beranggapan kalau penyebab ia mimisan adalah karena faktor kecapean.
"Gue nggak papa kok, gue cuma kecapean aja." Balas Febi seraya menengadahkan kepala supaya darah yang keluar dari hidungnya tidak makin banyak.
"Lo yakin nggak papa?" pasti David masih dengan rasa cemas, terus memegangi tangan Febi serta mencubit hidungnya.
Febi mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan cowok itu. "Lo nggak usah takut, gue nggak papa." Bohongnya untuk membuat David merasa tenang. "Gue baik-baik aja."
"Udah periksa ke dokter?"
"Besok,"
"Kenapa nggak sekarang aja?" tangan David kini beralih mengelus kepala Febi.
"Sekalian sama Bunda," Febi tersenyum sekilas. Ia takut kalau sampai dokter mendiagnosa dirinya dengan penyakit berbahaya. Febi tidak ingin membuat David makin khawatir. "Sekarang pulang aja. Gue capek, pengen istirahat." Pintanya bangkit dari tempat duduk setelah dirasa hidungnya tidak lagi mengeluarkan darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Farmasi & Perawat
Romance♡ Farmasi & Perawat ♡ Cerita ini hanya tentang keluargaku, sahabatku, dah dia... Dia yang membuatku harus memilih menjadi peran antagonis atau protagonis. ♡ Farmasi & Perawat ♡ Banyak kata-kata toxic (Jangan ditiru, hehehe) Ambil sisi baik nyak aja...