Malam mulai tiba. Ketika malam hari tiba, Ari selalu saja pergi ke atas balkon. Melihat pemandangan jalanan rumah Ardithama yang cukup sepi. Di tambah dengan suasana rumah yang tidak begitu ramai di jam delapan malam ini.
Arumi dan Ardithama adalah oramg yang sibuk. Mereka pagi hingga malam bekerja dengan penuh ketulusan demi masa depan anak-anak mereka agar terjamin. Ari menatap sebuah foto keluarga miliknya. Rindu akan masa lalu adalah kebiasaan Ari jika sudah menjelang malam.
Malam itu pintu balkon terbuka. Ari yang sedang meneteskan air mata karena rindu dengan kedua orangtuanya, kini langsung menghapus air mata itu, karena Janu menghampiri Ari.
Refleks Ari berdiri, dan menyimpan foto keluarganya dengan cara memeluknya. Janu tidak perlu tahu apa yang sedang ia lihat dan ia lalukan, jadi Ari, memilih untuk segera pergi dari balkon.
Tapi tangan Ari di tahan oleh Janu.
"Pertama, gue bukan mau mengganggu lo. Kedua, gue belum mengganggu lo. Jadi kenapa lo mau pergi tiba-tiba?" tanya janu datar. Ia menarik tangan Ari, dan membuat tubuh mereka saling berhadapan satu sama lain.
Ari tak menjawab, ia hanya diam saja. Janu melihat bahwa Ari pasti habis menangis, karena matanya sedikit merah. Dan juga wajah Ari yang tidak terlihat bersemangat.
"Gue malas jawab Kak. Jadi biarin gue pergi. Gue mau istirahat," putus Ari.
"Kita buat perjanjian."
Ketika Janu melontarkan kalimat itu. Ari langsung menatap wajah Janu dengan penuh pertanyaan. Ari tidak mengerti perjanjian seperti apa yang ingin Janu buat dengan dirinya?
"Maksud lo?" heran Ari.
Janu menghela napas, ia duduk di atas tepi balkon. Ari hanya mengernyit bingung dan mengikuti Janu saja. Ia cukup penasaran apa yang di maksud Janu membuat perjanjian?
Janu menoleh saat Ari duduk tepat di sampingnya. Meskipun Janu di buat menghela berat karena Ari memberikan jarak satu meter dengan dirinya saat ini. Gadis itu memang kadang selalu membuat Janu geram sendiri dengan tingkah anehnya.
"Gue akan bebaskan lo dari jahilnya gue dan Sella. Asalkan lo mau menuruti semua keinginan gue selamaㅡ" Janu menggantungkan ucapannya, lalu sesaag menoleh ke arah Ari yang terlihat penasaran.
"Lima hari ke depan,"lanjut Janu.
"Gimana? Setuju? Semua pihak akan di untungkan, " tawar Janu.
Ari terkekeh pelan, "Kak, gue nggak lupa kalau lo dan Sella itu hatinya mati. Jadi perjanjian dimana lo bilang kalau itu menguntungkan gue dan lo, itu semua hanya sebuah kebohongan dan rekayasa lo untuk menjatuhkan gue," ucap Ari dengan percaya diri. Matanya mendadak berkaca-kaca. Ntah mengapa mata Ari sering kali seperti itu hanya karena ia mengatakan hal yang sepele.
Jari jemari Janu mulai terkepal. Rahangnya mengeras, seketika menatap Ari dengan amarah serta emosi yang ia paksa tahan.
Melihat kepalan tangan, bahkan melihat mata Janu yang menatapnya dengan kemarahan, membuat hati Ari terluka. Orang yang ia sayangi menatapnya dengan kasar seperti itu. Membuat air mata yang Ari tahan di kantung matanya, jadi tidak bisa ia bendung lagi. Air mata itu menestes begitu saja.
Tatapan Janu mendadak berubah, saat melihat Ari meneteskan air matanya sembari menatap Janu seolah mengatakan kalau Ari benar-benar sangat lelah dengan ini.
"idk. Mungkin gue adalah orang yang amat lemah dengan tidak bisa menahan betapa letihnya hati gue di hadapan lo, Kak," lirih Ari. Air mata itu tak berhenti menetes, dan terus membasahi pipi Ari. Cahaya bulan memantulkan air mata Ari, sehingga Janu dapat melihat itu dengan jelas.
"Idk. Masihkan ada rasa iba di hati lo ataukah hati lo sudah benar-benar mati. Tapi jika diri lo merasa belum, maka gue harap itu tidak akan terjadi. Lo cuma butuh cinta jika memang hati lo mati. Tapi cinta nggak dateng begitu aja. Jadi, ketika ada cinta yang menghampiri lo, maka biarkan ia menetap hingga lo merasakan kehadirannya. Jangan membunuh cinta itu di saat lo sendiri tidak membiarkan cinta itu menetap, dan malah membiarkan cinta itu pergi," lanjut Ari kembali. Masih dengan keadaan yang sama. Meskipun kali ini Ari mencoba tersenyum setelah mengatakan itu di hadapan Janu.
"Pikirkan sekali lagi. Karena orang jarang memberikan kesempatan kedua," ucap Ari. Ari berdiri, ia menepuk bahu Janu lalu pergi dari balkon. Meninggalkan Janu sendirian di atas balkon.
Kini Pria yang katanya hatinya mati itu, hanya terdiam di atas balkon. Kertas yang semula ia genggam, akhirnya terlepas dan di tiup angin. Tanpa reaksi apapun, Janu hanya diam setelah Ari mengatakan suatu hal yang mungkin akan Janu ingat. Selalu. Mungkin saja. Ntahlah, katanya hatinya Janu itu sudah mati.
🌙🌙
Angin semilir membuat Ari tetap hangat karena ia memakai jaket tebal. Setelah mengatakan hal penting itu pada Janu. Ari lebih memilih untuk sendirian di sebuah taman. Taman yang selalu ia datangi jika ia butuh teman untuk berkeluh kesah tanpa ada kata penolakan untuk mendengar.
Ari tertunduk diam di kursi putih. Angin seolah tahu kalau hati Ari tiba-tiba serasa lemah untuk hari ini. Padahal jika di pikir-pikir, hari ini bisa di bilang santai untuk Ari. Jauh dari kata masalah dan kata jahiilan
Karena seharian ini ia tak bertemu dengan Sella, di rumah maupun di sekolah."Lo lemah Ri. Hal kecil akan ingatan masa lalu aja udah buat lo menangis kaya gini," rengek Ari kesal, tentunya pada dirinya sendiri.
"Ada gue."
"Hm?" Ari memekik heran.
Bagaimana tidak? Seseorang duduk di sampingnya lalu memeluk Ari. Dia bahkan menaruh Ari di dada bidangnya. Mengelus rambutnya dengan tulus. Sampai mata Ari di buat terpejam, karena Ari sangat merasa nyama ketika dia memeluknya.
Beberapa menit mereka dalam posisi yang sama. Tapi Ari kemudian dengan perlahan melepaskan pelukan itu. Bibirnya di buat terbungkam ketika Alan yang ternyata memeluknya.
Jantung Ari bertambah berdebar hebat ketika Alan mendekati wajah mereka. Pikiran Ari sudah travelling kemana-mana. Tapi ia segera menepisnya. Saat tahu, bahwa Alan hanya memasangkan sebuah Topi Kupluk Rajut di kepalanya.
"Kenapa lo selalu menangis sendiri? Ada teman untuk berbagi. Kenapa lo memilih membaginya hanya untuk diri sendiri?" tanya Alan lirih.
Ari hanya bisa memejamkan matanya dan menagis tanpa suara. Ia menggeleng-geleng karena tidak bisa menjawab apa yang Alan tanyakan pada dirinya. Karena malam ini, Ari merasa sangat lemah.
Senyuman Alan kembali memgembang di hadapan Ari. Ari dapat melihat itu. Tangan Alan menangkup wajah Ari dan Ari hanya diam saja melihat senyuman Alan yang membuatnya tenang.
"Jangan nangis. Berbagi tangisan lo sama gue. Gue teman lo. Gue sahabat lo, Ri. Oke? Jangan pernah merasa sendiri lagi," peringat Alan meyakinkan Ari. Tangan Alan masih menangkup wajah Ari.
Ari tersenyum lega, ia mengangguk dengan tulus. Alan terkejeh pelan lalh melepaskan wajah Ari dari tamgkupannya. Bahkan Alan kembali memeluk Ari. Hanya untuk memberikan ia sebuah kenyamanan dan merasa bahwa Ari terlindungi.
"Jangan nangis, gwaenchanh-a?"
Ari terkekeh pelan dalam pelukan Alan ketika Pria baik hati itu berbicara bahasa korea meskipun sepertinya itu bukanlah kebiasaan Alan.
"Ye, Arasseo," balas Ari tak ingin kalah.
Alan hanya di buat tertawa kecil dengan hal itu. Ia terus memeluk Ari di taman itu. Ari pun merasa nyaman hingga ia rasanya ingin terlelap dalam pelukan Alan yang cukup menenangkan itu.
"Satu kesempatan hilang. Hanya dua kesempatan yang tersisa. Lalu setelah kesempatan itu habis, maka saat itu pula, kehancuran lo akan di mulai!"
🌙🌙🌙
KAMU SEDANG MEMBACA
JanuAri [COMPLETE]✔
RomanceBagaimana jika kamu mendapatkan seorang pacar, yang tidak benar-benar menyayangimu? Sakit bukan? Itulah yang dirasakan Ari Gwent Arsita. Ketika ia mengetahui alasan di balik Janu Bara Ardithama saat ingin Ari menjadi pacarnya. Tapi apakah itu sebuah...