Semilir angin menembus jendela kamar Ari. Gadis itu tidak keluar kamar semenjak pulang sekolah. Ia sibuk melihat foto kenangannya bersama Piya. Foto ketika mereka masih tertawa bersama.
Ari melangkahkan kakinya menuju jendela. Tapi langkahnya dengan cepat terhenti karena Janu membuka pintu kamarnya setengah, dan menonjolkan sebagian kepalanya itu.
"Ck, ketuk dulu kali Kak, jangan asal buka," sebal Ari.
Janu berdeham, "hm. Kenapa? Takut gue liat lo dalam keadaan bugil?" ledek Janu. Ya, mungkin baginya itu sebuah ledekan, tapi tidak bagi Ari.
Dengan sigap, Ari menghampiri Janu dan memukul kepala Janu dengan kasar.
"Mesum lo!" tukas Ari.
"Gue cowok, Ri. Kalau nggak mesum berarti nggak waras."
"Ah, seterah." Ari berbalik badan, tapi dengan cepat Janu menarik tangannya.
Mata keduanya bertemu. Janu menatap mata Ari yang sembab. Ia tahu, selepas pulang sekolah Ari terus menangis di kamarnya. Bahkan sampai malam ini, Ari belum juga makan.
Meskipun Janu membenci Ari, tetapi ntah mengapa pintu hati Janu selalu terketuk untuk merasa iba. Bahkan rasa iba itu selalu Janu rasakan meskipun ia sedang mengganggu dan menjahili Ari.
Ari sendiri merasa bingung mengapa Janu menatapnya tidak biasa seperti itu. Bahkan Janu menggenggam tangan Ari dengan kuat. Mata Janu tidak teralihkan sama sekali.
"Kenapa lo menatap gue kaya gitu? Apa lo mulai naksir sama gue?" ledek Ari. Menyadarkan Janu, dan Janu melepaskan genggaman tangannya dengan kasar. Membuat Ari membuang napas gusar.
Janu terlihat salah tingkah, ia berusaha menutupinya dengan menatap Ari tajam . Tapi Ari sudah biasa dengan tatapan tajam darinya.
"Apa perut lo itu baja? Bukan kan? Lalu mengapa lo siksa perut lemah lo itu?" tanya Janu menohok.
Ari mengernyit, "apaan sih? Lagipula, gue nggak laper. Gue akan makan kalau gue laper. Lagipula sejak kapan lo peduli sama isi perut gue," sebal Ari.
"Kenapa lo jadi geer sih? Gue kan cuma tanya. Bukan berarti gue peduli."
"Ah! Seterah lo deh. Lagipula, setelah orang tua gue nggak ada, nggak akan ada yang tanya apa gue udah makan atau belum," ungkap Ari sedih.
Janu terdiam, mendengar Ari bersedih saja, rasanya hati Janu malah ikut bersedih. Ia selalu menepis rasa kasihan itu di hatinya, tapi tetap saja, hati ya hati, ia tidak bisa di lawan hanya dengan pikiran.
Bahkan kadang, jika Janu sedang bingung, ia memilih untuk lebih baik mengikuti apa kata hati dibandingkan dengan isi kepalanya. Karena terkadang, jika sedang bingung, isi kepala dan hati selalu tidak sinkron.
Janu membuang napas gusar, "ayo pergi keluar. Kita cari makan. Gue cuma kasihan cacing-cacing di perut lo."
"Nggak, Kak. Gue nggak mau makan. Biar aja cacing laknat di perut gue kelaparan. Biar mati. Abisnya badan gue kurus aja walaupun banyak makan, itukan pasti gara-gara mereka," tolak Ari, mulai mengungkapkan yang seharusnya tidak di ungkapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JanuAri [COMPLETE]✔
RomanceBagaimana jika kamu mendapatkan seorang pacar, yang tidak benar-benar menyayangimu? Sakit bukan? Itulah yang dirasakan Ari Gwent Arsita. Ketika ia mengetahui alasan di balik Janu Bara Ardithama saat ingin Ari menjadi pacarnya. Tapi apakah itu sebuah...