Twenty Nine : Warm

41 4 0
                                    

Tiba-tiba saja, Ryanya merasakan tubuhnya yang memberat. Dikarenakan harus menahan sebuah beban berat. Dan benar saja! Artsya pingsan dalam dekapannya. Hal itu membuat Ryanya panik. Apalagi, ia sedang membawa payung, yang sukses membuat dirinya semakin kerepotan.

"Artsya, bangun! Kamu kenapa pingsan di sini sih?" gerutu Ryanya sembari menepuk-nepuk pipi mulus Artsya. Dirasakannya hawa panas di sekujur tubuh Artsya. Petanda lelaki itu demam.

Segera saja, ia menarik tubuh jangkung Artsya dan membawanya masuk ke dalam rumah. Dibaringkannya tubuh basah kuyup itu di atas sofa. Tanpa pikir panjang, Ryanya segera mengambil pakaian kering, handuk, plester kompres, dan juga thermometer.

"Ya Allah, 42 derajat. Panas sekali," gumam Ryanya setelah meletakkan thermometer di ketiak Artsya. Artsya menggeliat tidak nyaman. Bulir-bulir keringat membasahi seluruh wajahnya. Wajahnya memerah padam. Disertai kerutan di dahinya. Petanda lelaki itu sedang tidak nyaman.

Dengan hati-hati, Ryanya melepas kaus yang melekat di tubuh atletis Artsya. Menampilkan tubuhnya yang terawat dan berotot dengan perutnya yang six pack serta otot lengannya yang besar. Sembari berusaha mengendalikan diri, dipakaikannya kaus kering yang ia ambil pada tubuh Artsya yang sebelumnya sudah ia keringkan dengan handuk.

Ditempelnya plester kompres pada kening Artsya. Hingga lelaki itu tampak menggeliat nyaman. Ryanya menyungginkan senyum. Menarik selimut sebatas dada dan berjalan menuju dapur. Hendak memasak semangkuk bubur untuk Artsya.

♤♤♤

Artsya membuka matanya dengan perlahan. Rasa pusing dan sakit pun masih menghampiri kepalanya. Dirasakannya sesuatu yang menempel di keningnya. Sepertinya, ini adalah plaster kompres. Ia pun menggerakkan kepalanya ke samping. Menemukan Ryanya tengah tertidur pulas sembari melipat tangannya. Menjadikan lipatan tangan itu sebagai bantal. Artsya menyunggingkan senyum. Bangkit duduk dari sofa dan kembali menoleh ke arah Ryanya berada.

"Anya, kalo mau tidur, di sini aja. Biar aku pindah ke sofa lain," ucap Artsya yang kontan saja membuat Ryanya menggeliat dan membuka matanya. Ia pun mengucek kedua matanya dan menutup mulutnya ketika tiba-tiba saja ia menguap.

"Kamu udah bangun? Gimana? Udah enakan? Aku ganti dulu, ya, kompresannya." Tangan Ryanya terulur. Hendak mengganti plaster kompres yang telah berubah panas itu.

Artsya menahan tangan Ryanya. Menolak gadis itu yang akan mengganti plasternya.

"Biar aku sendiri aja." Ryanya menaikkan kedua alisnya dan beralih mengambil semangkuk bubur dan satu strip obat dari atas nampan. Memberikannya pada lelaki itu.

"Dimakan! Habis itu minum obat," ucapnya bak seorang perawat. Artsya menatap mangkuk bubur dan strip itu bergantian. Wajahnya sendiri sudah berubah warna menjadi hijau. Mengetahui benda tak disukainya itu.

Ryanya menyipitkan matanya. Mengikuti arah pandang Artsya yang tampak fokus memandang sesuatu. Tampak tak berniat untuk mengalihkannya. Seolah tahu dengan perubahan raut wajah Artsya, Ryanya pun mengulas senyum jenaka.

"Jadi, selain takut disuntik, kamu takut minum obat juga, ya?" Artsya tersadar dari lamunannya dan menoleh ke arah Ryanya. Berusaha mengubah raut wajahnya menjadi cool.

"Nggak, kok. Siapa bilang?" Ryanya menaikkan alis kanannya.

"Terus, biasanya, kalo kamu sakit, kamu minum apa? Masa, dilihatin obat aja udah langsung pucet gitu."

"Aku gak pucet kok. Ini emang karena akunya aja yang demam. Jadi, kelihatan pucet."

"Artsya." Artsya terdiam. Masih menatap horor obat di tangan Ryanya.

SWI AGENCY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang