Twelve : Phobia

61 4 0
                                    

Akhirnya, setelah pertunjukan selesai dan Ryanya berkesempatan dicium lumba-lumba, mereka pun kembali ke dalam mobil. Bersiap menuju Dufan yang memang jaraknya tak jauh dari Ancol. Masih satu kawasan dengan parkiran yang ditempati Artsya.

"Sudah?" tanya Artsya memastikan. Setelah lama mereka mendinginkan mobil—mengingat hawa panas di siang kala itu—membuat mobil tiba-tiba panas layaknya sedang dipanggang bara api.

Ryanya menganggukkan kepala dan mereka pun melenggang menuju Dufan, tempat rekreasi mereka selanjutnya.

"Lo mau es krim?" tawar Artsya tatkala mereka sudah masuk ke dalam Dufan, yang pastinya sudah melalui pengecekan dan pembayaran tiket.

"Emang ada?"

"Ada." Artsya menggenggam tangan Ryanya. Membawanya menuju sebuah stand yang berada di dalam area Dufan.

"Pak, es krim vanilanya 2, ya," pesan Artsya kepada seorang penjaga stand.

"Kok lo tahu gue lagi pingin es krim vanila?" todong Ryanya yang seketika membuat nyali Artsya menciut.

Iya, kah? Bagaimana bisa selera mereka sama? Artsya menggaruk tengkuknya salah tingkah.

"Gue juga gak tahu. Gue cuman asal aja. Dan gak tahunya lo juga pengen," jawab Artsya jujur. Ryanya mengalihkan pandangannya—berusaha memyembunyikan wajahnya yang memerah malu karena telah kegeeran. Hingga tak lama, pesanan mereka pun datang.

"Ini 2 es krim vanilanya."

"Saya juga pesan air dinginnya 2 ya, Pak!" pesan Artsya lagi. Sang penjaga mengangguk dan mengambilkan 2 botol mineral dari dalam kulkas. Artsya meminta Ryanya memegang es krim miliknya. Merogoh sakunya dan mengeluarkan dompet. Membayar seluruh pesanan mereka.

Tanpa sadar, mata Ryanya menangkap 2 lembar kartu nama beratasnamakan Artsya. Tanpa embel-embel Anatasya maupun French. Oh, iya, dan juga tulisan owner di bawah namanya. Membuat rasa penasarannya bertambah berkali-kali lipat.

Itu apa? Kenapa ada 2 jenis kartu nama di sana? pikir Ryanya bertanya-tanya.

"Hei, ngapain lo nglamun?" tanya Artsya entah untuk ke berapa kalinya mengetahui dirinya selalu melamun. Ryanya menggeleng. Memberikan es krim Artsya dan menerima sebotol air kemasan darinya. Berjalan menuju bangku di sebuah miniatur rumah yang memang sengaja dibangun di sana.

"Artsya," panggil Ryanya. Artsya menoleh sembari memakan es krimnya. Membuat mulutnya cemong akan krim. Ryanya terkekeh. Mengulurkan tangannya dan menghapus krim Artsya di bibirnya.

Artsya terpaku. Dengan pandangan yang tidak teralihkan dari wajah Ryanya. Begitu pula Ryanya yang menatap Artsya sembari tersenyum manis. Buru-buru Artsya mengalihkan pandangannya dan memakan es krimnya cepat.

"Lo bisa gak sih kalo makan es krim pelan-pelan? Gak tahu apa mulut lo cemong kayak anak kecil?" semprot Ryanya layaknya seorang ibu yang sedang menceramahi anaknya. Arstya mencebik dan langsung melahap habis es krimnya. Mengusap bibirnya menggunakan tangan dan meminum air.

"Lo sendiri, bisa gak makan jangan kayak siput? Perasan, lama banget," balas Artsya tak ingin kalah. Ryanya mendengus. Membuka mulut lebar-lebar dan memakan habis es krim dalam satu suapan. Artsya terpengarah dan menbulatkan kedua mata.

"Puas? Udah gue habisin semuanya. Kalo gitu, kita ke mana? Eh, gimana kalo kita ke rumah hantu?" Mendengar nama 'rumah hantu', seketika membuat tubuh Artsya melemas seketika. Bukan karena ia takut dengan hantu tipuan itu. Tapi, ia takut akan sesuatu yang berhubungan dengan fobia yang dimilikinya.

"Ayo!" ajak Ryanya sembari berdiri. Artsya menggelengkan kepala cepat. Tak ingin mengikuti Ryanya. Ryanya menyeringai dan memandang Artsya intens.

"Jangan bilang lo takut sama hantu. Cih, ternyata, lo cemen juga," ucap Ryanya bermaksud 'tuk mengejeknya. Artsya tidak menjawab. Terus terdiam dengan botol yang teremas kuat.

SWI AGENCY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang