Six : Fall in Love

116 14 0
                                    

Ryanya merasakan ada seseorang yang membuntutinya semenjak dirinya keluar dari masjid. Berpikir kalau itu Gybran, tentu juga bukan. Karena mereka baru saja berpisah di depan pintu masjid. Lalu, untuk apakah Gybran membuntutinya? Daripada harus mengikutinya, kenapa ia tak menyapa dan menganggunya saja? Seperti yang biasa ia lakukan.

Ryanya semakin menyipitkan matanya. Cepat-cepat berbelok pada sebuah lorong sepi dengan jalan yang buntu-menunggu mangsa.

"Dia ke mana? Kenapa menghilang? Perasaan, tadi dia masih di depan gue deh." Ryanya semakin menyiapkan dirinya dan ... Ryanya mengerahkan kekuatannya. Memukul keras betis sang korban dan menariknya duduk. Menyikut erat leher sang korban dengan badan yang tertarik ke belakang. Mengunci pergerakan korban.

"Apa mau lo, hah? Sini, kalo berani! Nampakin diri lo! Jangan malah buntutin gue terus," ucap Ryanya sembari terus menyikut kepala sang korban. Menariknya dengan sangat erat. Membuat sang korban terbatuk-batuk sembari merintih kesakitan.

"Anya-Anya, stop! Ini gue, Artsya." Ryanya mengerutkan kening. Melepas sikutan lehernya dan membiarkan sosok tersebut bebas. Sosok itu pun melepas topi hitamnya dan juga masker hitam yang selalu menemaninya itu. Menampakkan wajah seorang bule tampan yang tak lain adalah Artsya.

"Elo? Ngapain ngikutin gue? Gak ada kerjaan ya, lo? Emang, jadwal kuliah lo kurang, hah?" Artsya terbatuk-batuk dan menggeleng. Ia pun berlutut sembari menarik napas dalam-dalam.

"Jadwal kuliah jurusan bisnis gue sih nggak. Tapi-"

"Tapi, apa?"

"Gue cuman ingin kenalan sama lo. Cuman itu. Itung-itung nerusin yang kemarin di pasar malam. Gue pikir, dengan kenalan kita waktu itu, lo mau nerima gue dan jadiin gue temen. Eh, gak nyangkanya lo masih nghindarin gue sampe sebegini caranya. Dari kemarin sampe sekarang," jelas Artsya sembari menunduk sedih. Ryanya menatap Artsya iba. Ada rasa bersalah yang merasuki hatinya.

"Sebesar itukah kemauan lo jadi temen gue?" Artsya tersenyum dan mengangguk semangat.

"Bagi gue, lo adalah satu-satunya temen yang mandang gue tulus. Sesuai jati diri gue yang lemah ini. Dan juga, gak mandang harta. Bahkan, lo juga lebih suka hidup sederhana daripada mewah-mewahan begini kan?" Ryanya termenung dan mengangguk. Menatap pemandangan luar sekolah dengan pikiran berkecamuk.

"Gue lebih suka hidup sederhana. Daripada hidup bermewah-mewahan seperti sekarang. Selalu dimanjain asisten, dijaga pengawal, dan ... dianter sopir." Ryanya menghela napas. Lantas, ia tersenyum dan berjalan menjauhi Artsya.

"Eh, lo mau ke mana?" tanya Artsya kebingungan.

"Makan," jawab Ryanya santai sembari menunjukkan bekalnya. Berjalan melewati koridor menuju lift.

Tidak mau ketinggalan jejak, Artsya buru-buru mengejar Ryanya dan ikut masuk ke dalam lift. Kembali memakai masker dan topinya, membuat Ryanya tertawa. Artsya yang mendengar suara tawa pun menoleh dan mendelik.

"Kenapa? Lucu ya gue nyamar kayak gini?" Ryanya terus tertawa dan menggeleng. Menarik lepas masker Artsya.

"Gak ada salahnya kok nyamar. Selagi itu nyaman buat lo. But, kalo sama gue, gue lebih suka lo yang apa adanya. Gak usah nutupin diri lo sampe beginian. Toh, kita kan teman. Teman akan selalu menerima temannya apa adanya. Sekalipun dia miskin." Artsya terpaku dan tersenyum. Melepas topinya dan terus menunggu lift hingga ke lantai dasar.

"Oh, ya, ini masker lo. Gue yakin lo bakalan aman. Walau nanti banyak adik kelas lewat. Tapi, tenang aja, gak bakalan lama kok." Ryanya pun melangkah keluar. Disusul oleh Arsya di belakangnya. Ikut mengekori Ryanya hingga ke belakang sekolah. Tempat di mana ia sering menghabiskan waktu sendiri.

SWI AGENCY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang