Twenty Four : Unwritten Statement

34 3 0
                                    

Sudah sepekan lamanya semenjak pertunangan dadakan Artsya dan Ryanya, Artsya tak henti-hentinya menunjukkan kebucinannya pada Ryanya. Membuat Ryanya diam-diam tersenyum atau bahkan tersipu malu akan gombalannya.

Lambat laun, hal itu pun dicurigai oleh Gybran yang sampai sekarang masih duduk di hadapannya dengan tatapan mengintimidasi. Lelaki itu tampak begitu betah menatapnya sampai-sampai ingin rasanya Ryanya mencolok kedua retina hitam itu.

"Gygy, lo bisa gak sih berhenti natap gue? Perasaan, dari tadi lo natap gue ... terus. Gak capek apa?" ucap Ryanya risih. Ditatap selama itu oleh Gybran.

"Apa hubungan lo sama Artsya? Dan apa maksud cincin lo itu?" tanya Gybran tanpa basa-basi. Ryanya memperlihatkan cincinnya dan menunjuknya.

"Ini?" Gybran mengangguk.

"Um ... lo pasti tahu kan arti cincin seperti ini?"

"Ya, pacaran kan?" tebak Gybran cepat.

"Bukan, bukan pacaran."

"Kalo gak pacaran ... jangan bilang kalo lo nikah!" teriak Gybran di kantin siang kala itu. Beruntung, kantin tengah sepi. Mengingat jam pelajaran tengah berlangsung. Dan entah sebuah keberuntungan atau apa, Ryanya dan Gybran memiliki jam yang sama-sama kosong. Sementara Artsya memiliki jam mata pelajaran Ekonomi yang sedang berlangsung di kelasnya.

Jadi, tidak heran Ryanya bisa bertemu Gybran leluasa. Setelah sekian lama ia tidak bisa berbicara secara bebas kepada sepupunya. Ya, apalagi kalau bukan karena keposesifan Artsya. Bahkan, ia rela antar-jemput Ryanya. Agar ia tidak satu mobil dengan Gybran.

Aneh memang, tapi Ryanya bisa apa? Selain mengikuti kemauan Artsya. Atau ia akan berakhir pada Artsya yang akan ngambek dan bertingkah layaknya anak kecil. Apa-apa harus dituruti, jika tidak, ia akan marah dan meracau tidak jelas. Salah satunya dengan meributkan hal-hal sepele atau membandingkan dirinya dengan gadis lain. Benar-benar!

Baru juga berstatus tunangan. Gimana kalau sudah beristri?

"Gygy, gue beneran gak nikah. Maksud gue, belum. Gue cuman tunangan kalik."

"Tunangan? Kapan? Kok lo gak ngundang gue?!" kesal Gybran. Melipat kedua tangan di depan dada.

"Ya karena emang tunangannya dadakan. Dan gue—" Ryanya memotong pembicaraannya tatkala ponselnya berdering di atas meja. Menampilkan nama 'Artsya' di layar utama. Gybran yang melihatnya pun hanya berdecih dan terdiam. Di saat Ryanya mulai menjawab panggilan tersebut.

"Kamu di mana? Aku udah selesai kelas nih."

"Hah? Selesai? Kok cepet banget."

"Iya, nih, yang ngajarin cepet. Cuman suruh mempelajari PPT terus tugas deh. Dan ya, seperti biasa, aku bisa selesain tugas dalam waktu setengah jam dong."

"Idih, pamer! Ya udah, aku ada di kantin."

"Oke, otewe, Sayang." Panggilan terputus. Dan Ryanya pun meletakkan ponselnya kembali ke atas meja.

"Siapa? Cowok lo, ya?" Ryanya menatap Gybran sembari meminum jusnya.

"Iya, Artsya. Dia mau ke sini."

"Cih, dasar bucin! Sekalinya punya cowok, sepupu dilupain."

"Ya elah, Gy. Gak gitu juga kalik. Gue—"

"Hai, Cantik. Udah nungguin dari tadi?" sapa Artsya dengan senyum yang merekah.

"Cih, cantik," cibir Gybran melihat kedekatan dua sejoli itu.

"Nggak kok, btw, kok kamu cepet banget? Bukannya tadi barusan nelpon?"

"Ya cepet dong, aku kan flash. Jadi, bisa berpindah cepet gitu."

SWI AGENCY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang