Thirty Two : Wedding Day

35 2 0
                                    

Setelah menunggu berbulan-bulan lamanya, akhirnya mereka dipersatukan dalam sebuah ikatan suci bernama pernikahan. Dan dihadapan seorang penghulu lah, mereka mengucapkan janji suci. Bertempat di salah satu masjid terbesar dan termegah di London, Artsya membacakan akadnya yang disaksikan oleh keluarga Ryanya. Ya, hanya keluarga, seorang dokumenter, dan juga penata rias saja yang hadir dalam acara sakral tersebut.

Alasannya? Alasannya cukup simpel. Selain, karena pernikahan mereka yang dadakan, mereka tidak cukup memiliki kerabat yang dekat. Orang tua dari Emily saja sudah meninggal. Dan Emily sendiri adalah anak tunggal. Jadi, sebagai walinya, ada Joseph yang bersedia menjadi wali nikah Ryanya menggantikan almarhum kakak iparnya.

Sementara, Artsya yang tidak memiliki orang tua pun turut digantikan dengan Jamesh sebagai wali nikahnya. Dan di depan penghulu dan keluarga Ryanya, ia mulai menjabat tangan penghulu dan bersiap mengucap akad.

"Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka Ryanya Alfregash Xinlya binti Tyo Alison Xinlya alal mahri kilu jiram dhahab mae taqm adawat lilsalaa hallan," ucap sang penghulu sembari menjabat tangan Artsya.

"Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka Ryanya Alfregash Xinlya binti Tyo Alison Xinlya alal mahri kilu jiram dhahab mae taqm adawat lilsalaa hallan," jawab Artsya dengan kalimat yang sama pula. Membuat orang-orang di sana terkejut dan menggeleng-gelengkankan kepala sembari memijit keningnya. Penghulu sendiri hanya tersenyum. Memberitahu jawaban apa yang harus diucapkan Artsya. Hingga, lelaki itu sadar akan kesalahannya.

"No problem, try again," ucap sang penghulu memaklumi. Artsya mengangguk. Menarik napasnya dan kembali menjabat tangan penghulu. Kali ini dengan keyakinan kalau ia pasti bisa melakukannya dalam satu menit.

"Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka Ryanya Alfregash Xinlya binti Tyo Alison Xinlya alal mahri kilu jiram dhahab mae taqm adawat lilsalaa hallan."

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi ... bihi ...." Artsya terdiam. Lupa dengan kelanjutan kalimat tersebut. Gybran yang mendengar hal itu pun tampak geram dan menatap calon kakak ipar sepupunya itu tajam.

"Udah deh, Sya. Pake Inggris aja. Gak usah gaya napa sih?!" Artsya menoleh ke arah Gybran sekilas. Tidak mengubris ucapan calon adik ipar sepupunya dan memilih untuk membaca ulang contekannya. Sang penghulu sendiri sudah mulai lelah. Karena tak kunjung selesai. Padahal, jadwalnya sedang padat. Dan harus tertahan di pernikahan ini.

"One more again, yes?" Artsya terkejut. Ketika suara penghulu mengintimidasi. Buru-buru, ia menarik napasnya. Memasukkan kembali contekannya ke dalam jas. Jamesh sendiri sedang memberinya semangat sembari menepuk-nepuk punggungnya.

"Ayo, Artsya. Kamu pasti bisa!" Artsya menganggukkan kepalanya. Kembali menjabat tangan penghulu.

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq," ucap Artsya dalam satu tarikan napas. Ini kali ketiganya ia mengulang kalimat tersebut.

Padahal, tadi malam ia sudah berlatih dan menghafalkan kalimat tersebut selama berjam-jam lamanya. Tapi, siapa sangka? Ia justru mengulanginya beberapa kali karena saking gugup dan paniknya. Bahkan, keringat yang mengucur deras tidak bisa ia elakkan lagi. Saking gugup dan paniknya ia. Sebenarnya, ia bisa menggunakan Bahasa Inggris. Namun, karena permintaan Ryanya untuk memakai Bahasa Arab. Mau tidak mau ia menyetujuinya dan ... beginilah hasilnya.

Keringat masih terus mengalir di kening dan tubuhnya dalam balutan jas hitam. Mereka pun berdoa bersama yang dipimpin oleh penghulu. Sebelum akhirnya, penghulu meminta Ryanya untuk menyalimi tangan Artsya. Dan dengan tangan gemetarnya, Artsya menyodorkan tangannya yang langsung diterima oleh Ryanya. Terasa dingin dan ... nyaman. Ada sensasi berbeda ketika tangan mereka bersentuhan. Padahal, sebelumnya, ia tidak merasakan hal tersebut kecuali ketika Artsya menggengamnya untuk pertama kali. Namun, tetap saja. Sentuhan ketika belum halal dan sudah halal berbeda. Jadi, itulah yang dirasakan Artsya saat ini.

SWI AGENCY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang