Twenty : Kiss

59 3 0
                                    

Sunyi. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari kedua insan itu. Hanya ada suara keheningan yang menyertai dan juga detak jantung yang masing-masing saling bertalu kencang, bak sebuah melodi. Setelah jeda beberapa saat, Artsya yang tersadar pun lantas berdeham dan menarik diri.

"Um ... maaf, gue ...."

Grep

"E—Lo, ngapain?" ucap Artsya terbata-bata. Terkejut tatkala Ryanya justru membalas mengurungnya dan menatapnya intens.

"Gue hanya mau bilang kalau kemarin ada adek kelas yang nembak gue. Kira-kira gue harus nerima gak, ya?" Artsya memberengut dan mengalihkan pandangannya. Ryanya menahan senyumannya dan berdeham pelan.

"Oh, kalau gitu, gue terima aja deh. Kan lumayan buat—" Ryanya memelototkan mata kaget tatkala Artsya justru membalikkan posisi mereka hingga Ryanya kembali terperangkap oleh Artsya.

"Lo yakin mau nerima?" tanya Artsya dengan nada tajam. Menatap Ryanya setajam elang.

"I—" Belum sempat Ryanya menjawab, Artsya telah lebih dulu mendekatkan wajahnya pada wajah Ryanya.

Kali ini, dengan keadaan sadar dan mata terpejam. Namun, tatkala bibir Artsya hendak menyentuh permukaan bibir Ryanya, Ryanya telah lebih dulu menahannya. Meletakkan telunjuknya di bibir Artsya.

"Gue sudah tahu jawabannya, terima kasih." Ryanya mendorong pelan dada bidang Artsya dan berjalan kembali menuju kitchen set.

"Ayo, kita masak! Lo bisa kan potong sayur-sayuran? Hari ini gue mau buat sup iga dan ayam goreng. Lo doyan kan sama makanan itu?" tanya Ryanya yang telah sibuk mengupas beberapa bawang. Artsya menggaruk tengkuknya—bingung—dan mengangguk.

Seakan tidak ada masalah atau kejadian mendebarkan, mereka pun tampak memasak dengan santai dan luwes. Bahkan, sesekali mereka saling melempar senyum dan tertawa tatkala ada sebuah pembicaraan lucu yang terlontar di antara keduanya. Tak butuh waktu lama, masakan mereka pun jadi.

"Segini sudah? Atau mau tambah lagi?" tanya Ryanya sembari menunjukkan piring di tangannya yang sudah berisikan nasi.

Artsya terdiam dan mengamati. Dalam hati, ia mulai menghitung sudah ke berapa kali jantungnya berdetak tak menentu seperti sekarang. Terus berdetak kencang seolah-olah ingin lepas dan jatuh ke perut. Artsya bergidik ngeri. Membayangkan jika jantungnya benar-benar lepas dari posisinya. Naudzubillah min dzalik.

Artsya menegakkan tubuh. Berdeham pelan dam menjawab pertanyaan Ryanya.

"Sedikit lagi deh." Ryanya mengangguk. Menambah setengah centong nasi sebelum meletakkannya di depan Artsya. Tepat tatkala lelaki itu menyuruhnya untuk berhenti.

Mereka kini telah terduduk di meja makan dengan beragam jenis makanan yang tersedia, serta nasi yang menjadi makanan pokoknya. Namun, bukannya makan, Artsya justru terdiam. Membayangkan apakah ia bisa merasakan momen ini lagi. Makan bersama Ryanya di sebuah meja yang sama seperti Gybran. Ah, betapa irinya Artsya. Membayangkan momen kedua orang tersebut.

Seketika, pikirannya teringat akan ucapan Ryanya yang telah menemukan jawaban setelah ia yang hampir melakukan dosa dengan menyium bibir Ryanya yang beruntung dicegah olehnya. Entah apa jadinya nanti jika ia sampai melakukannya dan menuruti bisikan setan. Astagfirullahaladzim, jangan sampai hal itu terjadi. Selama mereka belum sah menjadi sepasang suami-istri.

"Anya," panggil Artsya sembari mendongak. Tak ada jawaban apapun dari gadis tersebut. Mungkin, ia menunggunya untuk melanjutkan perkataannya. Artsya menarik napas dalam-dalam dan bersiap 'tuk kembali berkata.

"Gue—"

"Di keluarga gue, kalau makan jangan bicara," potong Ryanya sebelum ia menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

SWI AGENCY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang