Three : The Past

156 19 0
                                    

Sepuluh tahun yang lalu ....

"Help! Help! Fire!" teriak seorang lelaki tampan bermatakan biru, bersurai pirang. Berusaha mencari bala bantuan dari keramaian yang berada tak jauh dari kediamannya dengan wajah pucat pasi. Sepucat mayat hidup.

Namun, nihil! Orang-orang tampak acuh tak acuh dan begitu saja melewati anak tersebut—tanpa ingin menolongnya terlebih dahulu. Hingga, seorang pria paruh baya datang dan menghampirinya. Menawarkan bala bantuan.

"Hey, any problem? Kenapa kamu berlarian di sini?" tanya lelaki tersebut sembari mengamati sekitar. Siapa tahu kan kalau dia tersesat dari kedua orang tuanya?

"My parents-my parents," jawab anak kecil itu terbata-bata.

"Kenapa dengan orang tuamu?" Sang anak tidak menjawab. Ia justru menunjuk sebuah rumah yang berada di ujung gang dengan kobaran api yang kian membara.

Sang pria membulatkan mata terkejut. Segera saja ia menghubungi ambulan serta pemadam kebakaran. Menunggu kedatangan mereka 'tuk membantunya.

"Kamu tenang dulu, ya. Pasti orang tuamu bakal baik-baik saja," tenang sang pria yang pasti hanyalah ucapan belaka.

Faktanya, sudah berjam-jam lamanya kebakaran itu terjadi. Dan beruntungnya, ia berhasil keluar dari rumah lusuh itu dengan api yang terus saja membara. Melahap habis gubuk mungilnya. Orang-orang pun juga tampak tak menyadari kebakaran tersebut. Mengingat letak rumahnya yang begitu tersembunyi dan terpojok. Dan hal itu sukses membuat hatinya kian teriris. Tanpa sadar, ia menitikkan air matanya. Menangis dengan sangat deras. Tiba-tiba saja, ia merasakan rasa pening yang hebat di kepalanya. Dan secara perlahan, semuanya pun menggelap.

"Mom! Dad!"

Artsya terbangun dari mimpi buruknya. Napasnya memburu dengan pandangan yang lurus tertuju pada langit-langit kamar. Tunggu! Sepertinya ini bukan kamar miliknya. Artsya pun bangkit duduk dari posisinya. Melihat dirinya yang kini terbaring di atas kasur dengan selimut yang menutupi dirinya. Apakah ini rumah sakit sekolah?

"Akhirnya, lo sadar juga. Gimana? Lo gak papa kan?" ucap Quentin yang senantiasa duduk menemani Artsya. Artsya mengerutkan kening. Meringis kesakitan tatkala merasakan rasa sakit yang berasal dari keningnya yang kini sudah diperban.

"Ada apa? Kok gue di sini?" heran Artsya mengamati sekeliling ruangan kamar yang bisa dibilang VVIP itu.

"Lo lupa? Lo baru aja kecelakaan tadi. Secara gak sadar, lo kena bola pas tanding baseball tadi." Artsya terdiam. Sesekali, ia meringis—merasakan kesakitan pada lukanya.

"Terus, gimana pertandingannya?" tanya Artsya akan hasil pertandingannya dengan Gybran. Mendengar pertanyaan Artsya, mereka pun serempak menurunkan raut wajahnya—sedih.

"Kita kalah. But, kita gak kalah telak kok. Cuman selisih dua kok," jawab Nichel sembari mengacungkan kedua jarinya.

"Oh, iya, lo udah ditungguin sopir lo tuh di depan. Emang ya, anak sultan mah apa-apa harus dianterin sopir, dijaga bodyguard, dilayani pembantu, beuh ... bener-bener mantab emang! Jadi, ngiri gue."

Pletak

"Udah, gak usah ngiri! Sekarang, lo mending balik, Sya. Kasihan bokap lo pasti nungguin." Artsya yang mendengar nama 'bokap' itu pun tersenyum sumir.

Faktanya, ia tidak pernah mendapatkan kesempatan itu. Kesempatan ketika ia diperhatikan dan dikhawatirkan terus menerus oleh sosok tersebut. Terhitung sejak dirinya yang diangkat sebagai anak angkat—untuk menggantikan almarhum anaknya. Yah, hal itu terjadi sejak kejadian kebakaran yang ia alami bersama keluarganya sepuluh tahun lalu.

SWI AGENCY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang