Irina berdiri dengan kedua tangan berada di depan, sedikit menunduk di hadapan Damien yang tak bicara sepatah katapun semenjak Irina memasuki ruangan itu. Beberapa rekan kerjanya juga begitu, termasuk Alexa. Wanita itu hanya menatap komputer, tak berani menatap Irina maupun Damien.
"Ini hari ke berapa kau bekerja sebagai jaksa?" Itu adalah kalimat pertama yang di ucapkan Damien.
"Hari ke enam."
"Dan kau sudah buat masalah."
"Masalah?" Awalnya Irina tak ingin membangkang tapi tuduhan itu tak dapat ia terima."Aku tidak membuat masalah apapun."
"Terlambat datang saat aku panggil, apakah itu bukan sebuah masalah?" Damien menatap Irina kini, tatapan dingin, lebih ke marah. Irina tidak peduli itu."Sekarang keluar dari ruangan ini. Aku sudah tidak membutuhkanmu."
Irina ingin mengatakan protes tapi Damien lebih dulu menyuarakan larangannya.
"Mulai satu minggu ke depan, tidak perlu datang ke kantor. Kau di skors."
Irina balas menatap Damien dingin. Seenaknya seperti itu? Bukannya Irina tidak tau watak jaksa yang satu ini. Gemar memerintah, sombong, angkuh dan otoriter. Dia bertingkah sok menjadi hakim yang gemar memvonis orang seenaknya. Tidak, bahkan hakim harus mendengarkan tetek bengek para jaksa dan advokat sebelum mengetuk palu. Sebuah musibah bagi Irina sudah ditempatkan satu ruangan dengan pria itu.
Tanpa mau berlama-lama, Irina segera berbalik dan keluar dari ruangan itu.
"Apa seperti itu cara seorang jaksa menyelesaikan masalah?" Suara Damien membuat Irina yang baru saja meletakkan tangannya di gagang pintu terpaksa berhenti."Tidak ada pembelaan diri? Langsung keluar begitu saja? Bukan seperti itu mental seorang jaksa."
Irina menarik gagang pintu ke bawah, lalu keluar dari sana.
Sepeninggal Irina, Damien menghela napas. Ia tak berharap Irina keluar begitu saja tanpa berdebat dengannya, meminta maaf atau mengaku salah seperti orang lain.
"Seharusnya kau tidak memperlakukannya seperti itu." Alexa angkat bicara."Ini hari liburnya dan dia sudah berusaha untuk datang padahal dia punya hak mengabaikan panggilan kerja ini."
Damien tidak menjawab, ia fokus pada pekerjaannya di depan komputer. Atau hanya berpura-pura fokus. Bukan ini yang ia harapkan dari kedatangan Irina. Well, dia memang marah karena Irina datang terlambat tapi kini di gantikan oleh rasa menyesal karena tak dapat mengontrol emosinya sehingga membuat gadis itu pergi begitu saja, bahkan mungkin semakin membencinya.
Irina berjalan cepat keluar dari gedung kantor, melemparkan dirinya ke dalam mobil dan berusaha mengambil oksigen sebanyak mungkin. Matanya mulai mengkilap dan berair. Ia mengusapnya sebelum air disana keluar lebih banyak. Dadanya terasa sesak sehingga ia segera merogoh inhaler dari dalam tas, menghirupnya sebelum asmanya kambuh. Tapi ponselnya mendadak bergetar. Ia melirik layar, melihat sebuah nomor asing disana. Kening Irina berkerut sedikit. Tidak mungkin Maxime menghubunginya kan? Toh dia memberikan nomor Alexa tadi.
Tak lama setelah panggilan itu, ponsel Irina kembali bergetar namun nama Alexa yang tertulis di layar.
"Irina, kau dimana?"
"Aku masih di parkiran."
"Jangan ambil hati apa yang dikatakan Damien. Kau seperti tidak tau saja wataknya seperti apa."
"Justru karena aku tau, aku tak ingin berlama-lama disana lalu membuat keributan." Kerongkongan Irina tercekat oleh kesedihan. Bagaimana ia tak sedih? Baru enam hari bekerja tapi sudah di skors. Apalagi bukan karena sebuah kesalahan fatal. Bahkan bukan salahnya sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN DESIRE
RomanceThe Patlers #3 ( Maxime & Irina ) Maxime F. Patlers adalah keturunan laki-laki satu-satunya di keluarga Patlers sehingga hal tersebut menjadikannya sebagai pewaris tunggal Patlers Group, sebuah perusahaan tambang minyak terbesar di Amerika Serikat d...