Tubuh Irina telungkup di atas kasur dengan wajah menghadap ke dinding kaca yang menampilkan laut biru cerah. Matanya terpejam mengingat betapa bersemangatnya Maxime menghujamnya dua malam yang lalu. Perkataan Maxime juga terngiang-ngiang di benak Irina tentang tidak akan ada yang akan memisahkan mereka berdua. Irina tak paham dengan kegilaan Maxime. Rasanya semua ini bagai lelucon. Ia pikir setelah seks semalam, setelah ia menurut dan tidak melawan, Maxime akan melepaskannya.
Irina mengambil napas panjang.
Kerjanya hanya tidur, makan, mandi dan tidur lagi. Tidak ada kegiatan lain dan itu sangat membosankan. Lagipula kalau dipikir-pikir ia pun tak punya semangat untuk melakukan apapun selain tidur dan meratapi nasibnya.
Maxime rutin memberinya obat yang diresepkan dokter untuk penyakit asmanya. Pria pemaksa itu juga mendadak mulai menjaga pola makan Irina. Ia terus menyumpal Irina dengan sayur mayur yang menjijikkan. Ia benci sayuran sedangkan Maxime sangat menyukainya.
Omong-omong, sudah dua hari mereka berlayar. Selama itu pula dirinya tidur bersama Maxime di satu kamar yang sama. Lagipula, pria itu tak pernah mau berjauhan dengan Irina sehingga mengharapkan ia tidur di kamar lain tidak ada guna nya sama sekali. Seperti saat ini, ia mengatakan akan keluar sebentar untuk menghirup udara segar. Tapi belum sampai lima menit ia sudah kembali.
"Aku tidak berharap kau kembali secepat ini." Kata Irina menyadari kecupan Maxime di punggungnya.
"Kau sudah hafal suara langkahku hm?" Maxime mengecup telinga Irina."Tanpa menoleh kau sudah tau aku datang."
"Bukan," balas Irina."Ciumanmu mengagetkanku."
"Kau akan terbiasa dengan ciumanku, sayang."
Irina tetap menonton laut di luar kapal, terlalu lemah untuk menghentikan perbuatan mesum pria tersebut. Tidak ada gunanya melawan, saat ini ia tak akan menang.
"Sudah dua hari kau di kamar saja. Cuaca sedang bagus di luar." Kata Maxime pelan.
"Aku hanya ingin tidur."
"Jika kau masih belum bisa berjalan, aku akan menggendongmu."
"Tidak, terimakasih."
"Ada kawanan lumba-lumba sedang bermain. Kau tidak ingin melihatnya?"
"Tidak minat."
"Aku tidak pandai membujuk wanita karena aku jarang berhubungan dengan mereka. Jangan buat aku menjadi seperti orang bodoh." Nada bicara Maxime halus namun tersirat nada tajam.
"Aku tidak perlu dibujuk, jika aku suka aku tidak akan menolak."
"Lalu apa yang kau suka selain seks hm?" Nada mesum itu kembali. Dan pipi Irina seketika memanas. Ia yakin Maxime akan terus mengingatkannya tentang itu.
Irina tidak merepon, pikirannya melalang buana ke tengah laut. Sesekali ia menangkap sosok lumba-lumba yang berkejaran.
"Answer me. I want to know everything about my woman." Bisik Maxime.
"Tidak.
"Jangan membiasakan diri mengucapkan kata tidak." Maxime menopang kepalanya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya menyingkirkan rambut Irina ke belakang telinganya."Aku bisa berubah menjadi pemaksa lagi dan itu akan berdampak buruk untukmu."
"Aku rasa dari awal kau memang sudah berdampak buruk untukku meskipun aku tidak mengucapkan kata tidak."
"Contohnya seperti thundersex kita?"
Pipi Irina memerah seketika. Saat itu ia tak mengatakan kata tidak dan membiarkan Maxime melancarkan aksinya. Saat melakukannya mungkin Irina memang terbuai dengan permainan seks Maxime sehingga ia melupakan segalanya. Tetapi setelah selesai, sakitnya baru terasa. Sekujur tubuhnya penuh dengan bercak merah akibat gigitan dan ciuman buas Maxime. Irina lemas dan tak mampu menggerakkan tubuhnya selama satu hari. Sisa letih, lelah dan lemasnya bahkan masih terasa di hari kedua. Mungkin hal itu pula yang membuatnya begitu malas dan hanya ingin terus berada di kasur.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN DESIRE
RomansaThe Patlers #3 ( Maxime & Irina ) Maxime F. Patlers adalah keturunan laki-laki satu-satunya di keluarga Patlers sehingga hal tersebut menjadikannya sebagai pewaris tunggal Patlers Group, sebuah perusahaan tambang minyak terbesar di Amerika Serikat d...