Maxime menatap ayahnya yang memunggunginya di depan jendela kaca, memandangi hamparan kota New York. Sudah hampir lima menit Aaric berdiri tanpa mengatakan apapun. Begitu pula dengan Maxime. Keduanya terdiam di bawah atmosfer yang terasa begitu gelap.
"Aku menunggu kau mengatakan sesuatu, Maxie." Kata Aaric kemudian, tanpa mau menoleh ke belakang untuk menatap putranya.
"Me either."
"What should i say?" Aaric memutar badannya kini hingga Maxime dapat melihat ekspresi kecewa di wajah sang ayah."Tell me what should i say?"
Maxime terdiam, memalingkan wajahnya dengan rahang sedikit mengeras.
"Katakan apa yang kudengar tadi itu tidak benar."
Maxime masih terdiam sehingga membuat mata Aaric mulai mengkilap menyadari bahwa percakapan yang tak sengaja ia dengar antara Karin dan Maxime semuanya benar. Bahwa putranya berselingkuh. Dengan keponakaannya. Dengan putri kesayangan Abraham.
"Katakan itu tidak benar, god damn it!!" Mata Aaric sedikit melotot saat ia berteriak.
"Itu benar!" Maxime menatap ayahnya tajam. Emosinya sedang meluap kini."Itu benar! Aku mencintai Irina."
Keduanya saling memandangi satu sama lain dengan tatapan tajam. Aaric tak menyangka setelah mendengarkan langsung dari mulut Maxime, hatinya semakin hancur. Marah, takut, kecewa segalanya bercampur dalam kepalan tangannya sehingga ia pun langsung melayangkan tamparan keras ke rahang Maxime sampai wajah Maxime tertoreh ke kanan, nyaris tersungkur.
Maxime menerima tamparan itu, diam menikmati rasa perihnya yang luar biasa.
"Apakah itu sakit?" Geram Aaric.
"No."
Sekali lagi Aaric menampar putranya, lebih keras dari sebelumnya hingga Maxime benar-benar tersungkur menabrak sofa kini.
"Bagaimana dengan itu?"
Maxime kembali berdiri. Pipinya terasa bagai di bakar kini sampai pandangannya berkunang-kunang. Selama tiga puluh tahun ia hidup di dunia, baru kali ini ia mendapatkan pukulan dari sang ayah. Tapi itu bukan masalah.
"Kenapa kau membuatku melakukan ini, Maxie?" Aaric berbicara dengan nada rendah yang dibungkus oleh emosi."Kenapa kau harus membuatku melakukan apa yang tidak ingin aku lakukan hm?"
Maxime memilih untuk tetap diam.
"Kenapa kau membuatku harus memukulmu seperti ini!" Nada Aaric meninggi.
"Kau boleh memukulku sepuasmu. Itu tidak akan mengubah perasaanku pada Irina."
Aaric menyusupkan tangannya ke rambut, memejamkan mata sambil menekan kepalanya untuk menahan gelombang rasa sedih dan ketakutan yang menjalar di dalam darahnya.
"This is so fucking wrong, son."
"I don't fucking care."
Aaric menghembuskan napas, sorot matanya penuh dengan kekecewaan yang mendalam.
"Pukulanku tadi bukan apa-apa, Maxie. Ada yang lebih sakit daripada itu." Suara Aaric terdengar frustasi."Mencintai seseorang yang tidak pernah bisa kau miliki adalah hal paling menyakitkan di dunia ini. Dan aku tidak ingin kau merasakannya."
Tangan Maxime mengendur dari kepalannya, bola matanya mengkilap dengan rahang yang sedikit bergetar akibat mendengar penuturan sang ayah.
"Irina adalah putri kesayangan Abraham," Aaric menghela napasnya lelah sambil duduk di tepi ranjang."Kau tau kenapa dia mengirimkan Irina jauh dari kita semua? Karena gadis itu satu-satunya keturunan kita yang tidak memiliki darah psikopat di dalam tubuhnya. Abraham melindungi yang satu itu dari semua pengaruh buruk keluarga kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN DESIRE
RomanceThe Patlers #3 ( Maxime & Irina ) Maxime F. Patlers adalah keturunan laki-laki satu-satunya di keluarga Patlers sehingga hal tersebut menjadikannya sebagai pewaris tunggal Patlers Group, sebuah perusahaan tambang minyak terbesar di Amerika Serikat d...