Chapter 39 : A gift for her

94.8K 9.1K 2.3K
                                    

Malam itu Maxime benar-benar harus kembali ke New York sehingga pagi berikutnya Irina terbangun sendirian. Keputusannya untuk kembali ke kampung halaman sudah bulat. Semalaman ia terus berpikir yang terbaik dari semuanya. Dan ia tiba pada satu titik, dimana yang terbaik adalah face the problem as soon as posible. Karena mau sampai kapan terus seperti ini? Lambat laun semuanya juga pasti terbongkar. Dulu Irina berharap perasaannya pada Maxime akan pudar seiring berjalannya waktu. Tapi sekarang lain cerita, ia mengandung.

Pagi itu Irina sudah membereskan barang-barang miliknya di kantor. Ruangan itu masih kosong karena Irina datang pagi-pagi sekali. Ia menyapu pandangannya ke sekeliling untuk mengenang masa-masa dirinya berada disana. Tidak banyak yang dapat ia kenang karena belum lama ia berada disana bukan? Jadi ini bukan hal yang sulit.

Meletakkan surat pengunduran diri di atas meja Damien, Irina menghela napas.

"Good morning." Sapa Alexa yang baru datang. Langkahnya terhenti saat melihat Irina yang sedang memegang kotak berukuran sedang di depan tubuhnya."Apa itu?"

Irina tersenyum tipis."Aku mengundurkan diri."

"What?" Alexa tidak mempercayai pendengarannya."Mengundurkan diri? Kenapa? Apa karena Damien? Tidak, Irina, jangan mengundurkan diri hanya karena pria itu."

"Bukan karena dia," Irina menjawab."Aku akan pulang ke New York dan mencari pekerjaan disana saja."

Mata Alexa menyipit."Kau menyukai Melbourne. Kenapa tiba-tiba ingin pulang ke New York?"

"Aku harus."

"What happen to you, Irina?" Alexa berjalan mendekat untuk memindai wajah sahabatnya."Apa yang terjadi? Aku seperti tidak mengenalmu semenjak kau pulang dari liburan bersama kekasihmu itu."

"Hei aku baik-baik saja," Irina tertawa pelan."Aku benar-benar merindukan New York. Sudah lama sekali tidak pulang."

"Aku tidak percaya," Alexa menggeleng."Kau tidak bisa membohongiku, Irina. Aku tau pasti ada alasan lain."

Irina pun menggigit bibir."Aku sedang hamil."

"A-apa? Hamil?"

"Ya, itulah alasannya."

Alexa tergagap, tidak tau harus mengatakan apa untuk informasi ini. Kemudian ia menarik Irina untuk duduk di kursi."Kau hamil? Anak pria seksi itu? Atau pria lain?"

"Pria seksi itu." Irina menahan senyumnya.

"Dia mengajakmu menikah?"

"Tidak," Irina menggeleng pelan."Hanya saja kupikir kami harus berada di satu kota dengan kondisi kehamilanku ini."

"Ya itu benar." Alexa mengangguk."Kau beruntung dia tidak kabur setelah tanam benih. Menjalani kehamilan seorang diri itu tidak mudah tau?" Alexa tersenyum.

Irina hanya mengangguk pelan sembari menggenggam tangan Alexa."Aku akan merindukanmu, Alexa."

"Oh my, aku pun akan sangat merindukanmu." Alexa segera memeluk Irina."Tapi kita kan tidak selamanya berpisah. Kau pasti akan datang lagi ke Melbourne kan? Atau aku yang ke New York sesekali. Kita juga masih bisa video call. Jangan menangis, itu tidak baik untuk janinmu."

Irina beruntung memiliki teman yang tidak gemar membuat drama sehingga air matanya tidak jadi tumpah. Setelah berpelukan selama beberapa menit, akhirnya Irina memutuskan untuk benar-benar berpamitan. Berat memang, tapi mau bagaimana? Maxime sudah mengatur penerbangan di jam sembilan pagi. Pria itu hanya memberikan Irina satu jam untuk menyelesaikan semua urusan disini.

Dan Irina tak mungkin menunggu Damien datang untuk berpamitan karena sekarang jam sudah menunjukkan pukul 7:30.

"Damien tidak akan datang." Alexa memberitahu. Dan Irina hanya bisa mengerutkan dahinya menunggu Alexa melanjutkan kalimatnya."Dia kecelakaan tadi malam. Kondisinya lumayan parah, kabar yang kudengar, kakinya perlu di amputasi. Rencananya kami akan menjenguknya besok. Sayang sekali kau tidak bisa ikut ya?"

FORBIDDEN DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang