Chapter 7 : He is insane

127K 10.7K 1.3K
                                    

Suara percikan daging yang baru saja di masukkan ke dalam wajan berdesis mengeluarkan harum yang menggugah selera. Api yang membakar wajan tersebut tak lebih panas dari api yang sedang berkobar di dalam kepala Maxime. Jelas terlihat dari rahangnya yang mengeras serta genggaman tangannya pada spatula. Bola matanya menggelap saat memandangi daging yang terus terpanggang.

Bayang-bayang Irina menari di atas meja bar dengan kerumunan pria hidung belang di bawahnya terus bermain di dalam benak Maxime. Irina memang tak melakukannya sendirian, tapi bersama seorang teman wanitanya. Mereka tampak bersenang-senang melenggak-lenggokkan pinggul dengan gaya yang menurut Maxime begitu erotis.

"Jangan terlalu lama memandangi daging yang sudah hangus, bisa-bisa hatimu ikutan hangus." Ledek Dominic yang sedang menata piring.

Maxime tidak peduli dengan daging yang sudah hangus. Ia tak berselera makan. Tangannya pun bergerak mematikan kompor. Lalu dengan bertelanjang dada ia mengambil kain untuk membersihkan tangan yang terkena cipratan minyak.

Dominic kembali melirik Maxime yang sedang memunggunginya. Sahabatnya itu jarang marah, bahkan mungkin tak pernah sediam ini. Pembawaannya yang santai dan terkesan dingin kini sirna sudah. Semarah itukah Maxime pada Irina?

Akan berbahaya jika memang begitu.

Well, Dominic tak mau ikut campur. Tidak ada untung maupun rugi baginya.

"Karena dagingnya hangus, aku akan memesan makanan." Kata Dominic.

"Tidak perlu." Jawab Maxime singkat. Pria itu berjalan kembali ke depan pintu kamar Irina.

Membuka kunci, matanya langsung mendapati Irina yang masih duduk di ranjang sambil memeluk lututnya. Maxime dapat melihat bra dan celana dalam hitam itu masih saja melekat di tubuh Irina.

"Kau masih belum mandi?" Tanya Maxime sambil memasuki kamar lalu menutup pintu di belakangnya.

Irina tidak menjawab. Ia pusing dan syok dengan apa yang baru saja terjadi. Pertama-tama, ia kedatangan pria asing ini ke apartemennya di pagi hari. Pria itu masih menunjukkan sifat sopannya walau hanya sedikit. Lalu entah bagaimana sifat itu berubah drastis sekarang. Bahkan Maxime berani mengunci Irina serta menyita ponselnya atas kesalahan yang tidak ia ketahui sama sekali.

Kenapa para pria gemar berbuat sesuka hati mereka? Tidak Damien, tidak Maxime, sepertinya punya dendam kesumat pada Irina.

"Aku meninggalkanmu satu jam yang lalu, berharap saat aku kembali kau sudah berpakaian lalu kita makan malam." Kata Maxime datar.

"Kenapa kau melakukan ini? Apa karena aku menagih uang sewa?"

"Bukan." Jawab Maxime singkat."Tidak ada hubungannya dengan itu."

"Lalu kenapa?" Irina butuh penjelasan. Aura dingin nan menakutkan yang ditampilkan Maxime semakin membuatnya kebingungan."Apa karena aku memukulmu? Jika karena itu, aku minta maaf dan kembalikan ponselku sekarang."

"Aku punya urusan penting yang harus kuselesaikan jadi jangan membuang waktu." Maxime tak ingin menjawab, ia masih terlalu marah untuk membahas tarian di atas meja bar."Waktumu lima belas menit."

Irina menoleh pada Maxime dengan tatapan tajamnya."Persetan denganmu."

"Jangan mengumpat kasar padaku."

"Persetan denganmu."

Seringai tipis muncul di wajah Maxime. Bola matanya kian menggelap, tak kuasa menahan gejolak marah serta gairah yang bercampur aduk. Bola mata Irina begitu memabukkan bagai heroin jenis baru yang sangat menarik.

"Apa kau benar-benar tidak mau mandi?"

Irina masih melayangkan tatapan nyalang. Kenapa pria ini begitu terobsesi menyuruhnya mandi? Persetan, Irina tak akan pernah membiarkan dirinya menjadi budak Maxime. Bisa kau bayangkan? Seseorang tiba-tiba muncul di rumahmu lalu bertingkah seolah dia adalah tuan rumah. Memerintah dengan nada otoriter yang menyebalkan.

FORBIDDEN DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang