Keesokan paginya, Irina kembali bangun dengan tubuh yang begitu lemas. Kakinya kram hingga susah digerakkan. Gila memang, kenapa saat melakukannya begitu enak? Nyerinya selalu datang saat permainan telah usai. Jika datang lebih awal Irina kan bisa menghentikannya? Bayang-bayang seks selalu saja hinggap di dalam kepalanya. Ia berdoa tidak menjadi hiperseks seperti seluruh keluarganya. Tapi... sejak Maxime mengenalkan seks padanya, jujur saja Irina sering lupa diri setiap kali mendapat sentuhan pria itu.
"Buenos dias, amor." Sapa Maxime dengan suara serak yang penuh akan godaan.
Irina baru menyadari dirinya berada dalam pelukan pria itu dengan tubuh telanjang di bawah selimut putih. Namun ia tak mampu mengerluarkan kata-kata akibat nyawanya yang belum terkumpul semuanya. Ia hanya mampu memandangi wajah Maxime begitu lama. Pagi-pagi ia tampak begitu tampan dengan rambut acak dan mata sayu. Bibir bersemu merah itu adalah bibir yang telah melakukan perbuatan jahat pada tubuh Irina.
Oh apa yang sedang ia pikirkan?
Irina buru-buru meledakkan berbagai pikiran mesum yang menghantuinya.
"Kapan kita ke kamar? Seingatku kita ada di dalam ruangan di lantai dua." Suara lembut Irina membuat Maxime mendesir.
"Setelah ronde kedua kita pindah ke kamar."
Memang ada berapa ronde? Irina tak ingin bertanya. Yang jelas, satu ronde tak pernah cukup bagi Maxime.
"Kita sebentar lagi akan tiba di bandara lalu terbang ke Madrid." Maxime bergeser sedikit lalu duduk sambil meregangkan ototnya.
Mata Irina kembali memandangi bagaimana otot seksi di punggung Maxime bergerak. Kulit mengkilap dan bekas cakaran terlihat jelas di pagi hari. Irina segera memalingkan wajahnya. Segila itukah dirinya?
"Apa kau bisa jalan?" Tanya Maxime sembari berjalan untuk meneguk air putih.
"Ya."
Maxime menyeringai tipis. Pasalnya ia tau kaki Irina kram. Kalau tidak, ia tak akan memijatnya seperti sekarang. Maxime pun kembali ke ranjang lalu duduk di dekat kaki wanita itu, menyingkap selimut hingga tubuh telanjang Irina kembali terpampang. Sontak Irina menarik selimutnya kuat-kuat.
"Mau apa lagi?"
"Mau memijatmu, sayang." Maxime meletakkan tangannya di betis Irina, melakukan pijatan pelan disana.
Begitu susah menelan ludah saat ini. Apa lagi yang pria ini coba lakukan sebenarnya? Irina tak berani menatap bola mata Maxime yang sedang memandanginya dengan kilat mesum.
"Tak perlu malu, aku sudah hafal semua yang ada di tubuhmu di luar kepalaku." Ujar Maxime."Bahkan aku sudah tau ukuran bra mu, sayang."
Gerakan Maxime memijat paha Irina memang menyenangkan. Setidaknya itu berhasil membuat otot kaku Irina mulai meregang kini. Tapi ia tau tangan itu tak hanya memijat. Pasti akan ada aksi-aksi cabul yang di perbuat Maxime contohnya seperti sekarang, seenaknya dia meremas bokong Irina di bagian samping.
Yah untung dia tidak menyentuh kewanitaan Irina walau tatapannya benar-benar mengintimidasi disana. Irina merasa risih hingga ia pun menutupi bagian atas tubuhnya dengan selimut hingga menyisakan paha dan betis saja yang terbuka karena Maxime masih memijatnya disana.
"Apa kau... memang suka bermain kasar?" Entah kenapa pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Irina. Mungkin ia sudah sangat penasaran karena setiap kali melakukan seks dengan Maxime, tidak pernah pria itu bergerak lembut.
"Hm," jawab Maxime."Aku suka hard sex."
Irina tidak melanjutkan topik ini. Sungguh ia tak ingin Maxime memperpanjangnya lagi atau pria kelaparan itu akan berakhir menyantapnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN DESIRE
RomanceThe Patlers #3 ( Maxime & Irina ) Maxime F. Patlers adalah keturunan laki-laki satu-satunya di keluarga Patlers sehingga hal tersebut menjadikannya sebagai pewaris tunggal Patlers Group, sebuah perusahaan tambang minyak terbesar di Amerika Serikat d...