Chapter 6

7.9K 277 13
                                    

3 Maret 2021

•••

Beberapa waktu yang lalu ....

"Pembagian dan perkalian dulu, baru tambah dan kurang sesuai urutan." Milo benar-benar gugup kala ibu Raffael tepat di sampingnya, selain bisa melihat dengan jelas aroma khas wanita itu juga kentara membuat sangat nyaman.

Harusnya, tetapi guguplah yang ada. Sangat gugup dan cenat-cenut.

Baik hatinya dan anunya.

"Coba tulis dulu." Milo tetap berusaha lurus, ia mulai menulis. "Lho, kenapa nulisnya di meja?" Ibu Raffael tertawa seraya memegang tangan Milo yang penanya malah ke meja, bukan ke buku.

Tangannya dipegang kulit mulus itu.

Napas Milo berembus berat, terlebih kala tangan sehalus sutera itu menggerakannya agar menulis. Milo benar-benar tak fokus dan hal itu membuat ibu Raffael bingung, tangan Milo terasa keras kala ia gerakkan.

Milo mulai mengkaku.

"Milo, ada apa dengan kamu?" Wajah ibunda Raffael kini menatap tepat ke wajahnya, pipi Milo semakin panas dan memerah, dan mulai kesulitan bernapas karena sesaknya bagian bawah sana. "Astaga, teman kamu kenapa ini, Raffael? Wajahnya merah dan pucat banget!"

Dan belum ibu Raffael memegang kening Milo, Milo langsung berteriak kencang dan berlari kesetanan keluar rumah.

"Lho, Milo? Kena--"

"Dia sepertinya alergi angka, Mom." Raffael tampak malas.

"Lho, bagaimana mungkin? Reaksi dia aneh banget, lho, Sayang." Ibu Raffael berdiri dari duduknya, tetapi Raffael menahan. "Phobia matematika?"

"Mom, biar aku aja yang nyusul dia." Raffael pun berdiri dari duduknya, dan menyusul Milo.

Ibu Raffael masih bingung ada apa yang terjadi dengan teman pertama anaknya itu, terlihat mengkhawatirkan jika benar ia punya phobia matematika atau angka. Hanya saja, agaknya mustahil mengetahui saat sekolah selalu diperkenalkan hal itu ... apa terjadi sesuatu pada Milo?

Kala tengah berpikir tentang Milo, Raffael datang lagi, kali ini memungut tas Milo dan merapikan barang-barangnya yang tertinggal.

"Lho, kenapa?"

"Dia bilang dia harus buru-buru pulang, teringat anak kucingnya yang sakit."

"Ah ... sepertinya dia memikirkan kucingnya jadi susah fokus, ya." Agak masuk akal, tetapi tetaplah mengherankan. "Ya udah Mom titip salam, semoga kucingnya sembuh. Dan oh, bawakan ini untuk dia." Ia menyerahkan kotak berisi kue ke Raffael. "Kembalikan kotaknya kapan-kapan saja."

"Hm ...."

"Beritahu juga lain kali kerja kelompok, rumah kita selalu terbuka buat dia!"

Tanpa menjawab, Raffael pun beranjak pergi lagi, dan ibunya mulai merapikan meja belajar mereka.

Lalu ia agak kaget melihat tempat duduk Milo tadi, seperti basah karena keringat, ia tampak tak mempedulikan itu dan kembali ke aktivitasnya.

Kembali ke masa sekarang, tentu bukan hal di ataslah yang Milo ceritakan. Kenyataan tentang ia merasakan hal yang tak boleh ia rasakan terhadap ibu temannya yang cantik dan seksi sebagai ujian kerja kelompok. Bahaya, suami wanita itu pasti akan membunuhnya, dan kedua orang tuanya akan mengebirinya.

Benar-benar buruk.

Sekarang Milo hanya diam, diam seribu bahasa tak meneruskan kalimat.

"Milo!"

"Brendy, udah!" Mentari menahan suaminya menekan Milo yang terlihat menderita, bahkan sampai memeluk erat sang ibu takut.

"Sudah Papah tebak, kamu pasti nonton film biru, kan?" Ayahnya kembali menodong, dan bagi Milo itu lebih buruk dari itu.

"Enggak, Pah, a-aku tadi kaget ada kecoa di celana, dan tanpa pikir mukul anuku sendiri ... sa-sakit ...." Alasan apalah, tidak masuk akal, tapi hanya itu yang Milo punya.

"Kecoa?!" teriak Brendon sang ayah tiba-tiba, menyingkir menjauh dengan wajah jijik. "Mana?! Mana?!"

"Udah gak ada, di jalanan tadi!" Milo bersyukur kebohongannya dipercaya.

"Tuh, kan, Pah! Kan jelas Milo gak bakal bohong, dia itu gak kayak kamu di masa lalu!" Mentari kini membela putranya. "Anu kamu masih sakit, Sayang?"

Milo menggeleng pelan. "Masih nyeri aja ...." Nyeri karena cenat-cenut berbahaya faktanya.

Brendon masih bergedik ngeri seraya keluar kamar Milo, sedang sang ibu mengusap keningnya. "Ya udah, kamu mau Mamah bawain obat atau--"

"Enggak perlu, Mah. Milo istirahat aja." Sekalian saja dia berdalih sekarang.

"Ya udah, kamu istirahat, Mamah bawain makan buat kamu." Milo tersenyum, bersyukur punya ibu sebaik Mentari, wanita itu lalu keluar kamarnya dan Milo bisa bernapas lega.

Walau tak terlalu lega karena masih mengingat betapa mengerikannya apa yang terjadi tadi, hal bodoh, Milo menepuk-nepuk keningnya demi mengeluarkan wajah cantik itu dari kepala.

"Turun gak lo!" Milo memerintah celananya sendiri. "Duh, Milo, lo harus fokus belajar! Belajar! Belajar! Bentar lagi lo ujian, dan lagi ... lo juga perlu fokus game. Lupakan tadi, dan belajar ... Milo, lo pasti bisa!"

Milo menyemangati dirinya sendiri.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

MY SEXY JANDA [B.U. Series - M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang