Saat pulang sekolah, seperti biasa juga Raffael diantar Milo ke rumahnya untuk belajar bersama. Mereka sampai di rumah, melangkah ke teras, dan Raffael segera membuka kunci pintunya.
Sedang Milo berdiri di belakang, setia menunggu sampai matanya menatap ke dekat kaki Raffael, di mana terdapat sebuah surat di sana. "Raff, tu surat atau apaan?"
Raffael menghentikan aktivitas, memandang ke arah Milo yang menuju ke arah surat itu. Segera, si pemuda memungutnya.
"Surat dari siapa tuh?"
"Tidak ada nama pengirimnya." Dan ia segera ingin membukanya.
"Eh, apa gak papa? Mungkin buat nyokap lo gitu?"
Raffael tak menggubris, mulai membuka surat tersebut dan ternyata ada kertas undangan pernikahan di sana. Raffael terhenyak selama beberapa saat melihat nama siapa yang ada di kertas itu.
"Urwin Quincy--Quincy?" guman Milo pelan membaca nama pertama, dan baru ingin melihat nama kedua Raffael langsung merobek-robek kertas itu.
"Cih, untuk apa aku dan Mom datang ke pesta pernikahannya, tak akan pernah!"
Mata Milo melingkar sempurna, Quincy? Ia baru sadar nama belakang Raffael adalah Quincy meski Rivera adalah Raymond--itu nama belakang ayah Raffael.
Raffael kini terlihat frustrasi, benar-benar di ambang amarahnya. Bahkan berteriak kencang membuat beberapa tetangga melirik serta hewan sekitarnya kaget.
"Raff, sabar ...."
"Bagaimana aku bisa sabar dengan pria tak tahu malu begini?!" Milo tersentak, kini pemuda itu kikuk menanggapi Raffael yang bak monster cebol di hadapannya. "Harusnya dia tahu, tak perlu memberikan surat undangan, kami pergi untuk menjauh darinya selamanya! Pria itu ... sekalipun kami berbagi darah daging yang sama ... aku sudah mengatakan tak sudi lagi melihat wajahnya. Barang satu kali pun!"
Milo meneguk saliva. "Tenang, Bray. Tenang."
"Diam!" Milo tersentak lagi. "Kubilang diam, ya diam! Sekarang, kamu pulang saja, aku tidak mood untuk belajar bersama."
"Eh ...."
"Terima kasih sudah mengantarku." Raffael tak mempedulikan Milo, ia membuka pintu, masuk rumahnya bersama surat itu sebelum akhirnya menutup keras tepat di depan wajah Milo.
Milo menghela napas, berkecak pinggang. "Hah ... keknya dia marah banget. Gak bisa ngomong apa-apa dulu gue."
Kemudian, ia teringat soal Rivera. "Mungkin gue datengin Tante aja dulu."
Milo pun beranjak pergi dengan motornya menuju perusahaan sang ayah, menanyai resepsionis yang ada di sana.
"Papah ada?" tanyanya.
Dan mendapatkan jawaban, ia segera menuju ke ruangan sang ayah. Di mana ia temukan Brendon nyatanya bersama Mentari ada di sana.
"Astaga, Milo!"
"Haven't you ever heard of closing a goddamn door?!" Brendon meneriaki salah satu lirik lagu ikonik I Write Sins Not Tragedies.
"Hish ...." Milo berdesis usai melihat adegan tak senonoh itu, keluar dari ruangan dan menutup pintunya. "Kasian adek gue digencet-gencet!"
Lalu Milo menuju ruangan Rivera, ruang sekretaris. Rivera ternyata tengah ada di sana, sibuk di depan laptopnya, dan saat itulah Rivera yang menyadari kehadiran Milo, menatapnya dengan senyum hangat.
"Lho, Milo, kamu ke sini?" Rivera menghentikan jemarinya yang mengetik. "Ada apa?"
"Tante, anu ...." Milo menceritakan soal Raffael yang marah, tentang surat undangan pernikahan ayah kandungnya itu, dan Rivera terlihat kaget karena hal tersebut.
Meski kemudian, ia menghela napas. "Tante mungkin bisa menerima itu, tapi bagi Raffael ... tampaknya dia masih belum berdamai dengan masa lalu terkelamnya. Dia benar-benar membenci ayahnya dan sekarang kamu terkena imbasnya."
Raffael menatap sendu Milo.
"Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, dia masih menyayangi ayahnya. Tante tahu itu, itu kenapa Tante selalu mempertahankan hubungan di masa lalu. Ada pro kontra di dalam diri Raffael, karena hal tersebut, dia tampaknya pergi dari ayahnya karena tak ingin disakiti lagi ... dan karena ia tak ingin menyayanginya."
Begitukah?
Milo pikir ia tahu bagaimana seorang Raffael, tetapi tampaknya Raffael jauh lebih rumit kebanding puzzle sepuluh kali sepuluh.
"Tante sendiri gak tahu harus melakukan apa pada Raffael ... dia ... dia ...."
"Aku tau, Tante." Milo menatap Rivera, tersenyum hangat. "Aku mau bikin Raffael enggak membenci ayahnya lagi, dan berdamai dengan masa lalunya. Soalnya kalau masih ngerasa gitu, kadang malah bikin banyak pikiran. Aku pengen dia menyadari ... cara terbaik buat ngelangkah ke depan, itu memberikan masa lalu jalur yang tepat."
Rivera perlahan mengembangkan senyumnya. "Entah berapa ratus kali, Tante rasa kata terima kasih tidaklah cukup."
"Itu lebih dari cukup, kok, Tante." Milo tertawa pelan. "Tante ... nanti pulang kita bareng, ya. Aku mau laksanain rencana aku tadi."
"Ah, iya, sebenarnya apa yang bakal kamu lakukan?"
"Nanti Tante bakalan tahu, kok." Milo cengengesan. "Aku mau minjem jas Papah dulu, biar lebih kece, dah Tante."
Entah apa yang akan dilakukan Milo, Rivera masih bingung. Meski demikian ia percaya pada pemuda itu, jadi ia akan menuruti saja bersama senyum hangat yang tak lepas. Milo selalu punya cara tersendiri memberikan warna di kehidupan mereka, jadi kalau begini ....
Ia tak akan pernah ragu melangkah lebih jauh bersama Milo.
Dan membiarkan Milo menjadi pemimpinnya.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
MY SEXY JANDA [B.U. Series - M]
Romance18+ Milo, cowok 18 tahun yang memasuki masa puber, jatuh cinta pada pandangan pertama melihat ibu dari teman sekelasnya. Namun, cowok itu sadar ia tak boleh merasakannya karena 1) dia harus fokus ke ujian yang akan ia hadapi, 2) ia tak ingin cinta d...