[48] RUMAH

461 111 58
                                    

Aku tersentak akan buaian mimpi tersebut. Sangat absurd memimpikan cinta pertama kala tidur di pelukan pemuda lain. Aku terbangun dan dilanda perasaan bersalah sekaligus malu. Aku menggelengkan kepala, berusaha menepis sensasi bahagia saat mimpi indah.

Hal pertama kulihat adalah wajah Sunghoon yang cukup dekat denganku. Aku berjengit kaget atas keberadaannya. Dia tersenyum melihat reaksiku dan tangannya mengucap puncak kepalaku dengan halus

Bagus sekali. Wajahku merona karena mimpi barusan sangat nyata. Sekarang sudah disuguhi wajah rupawan lainnya.

"Berapa lama aku tidur?" Aku bertanya dengan intonasi rendah. Tenggorokanku mulai tidak enak.

Aku melirik gorden jendela yang tertutup rapat, tetapi suasana masih sama seperti sebelum tidur. Aku pastilah tidak lama tidurnya.

"Tiga hari tiga malam."

"Mwo? Museun mariya (Apa yang kamu bicarakan)?"

"Kau tidur seperti bayi. Mana tega aku membangunkanmu," ungkap Sunghoon.

"Selama tiga hari itu kau di sampingku?" Aku menertawakan kebohongan Sunghoon yang terlalu payah. Masih malam, bahkan saturasi cahaya kamar masih sama. Mana mungkin meloncat 72 jam sekaligus.

"Tentu saja. Kau memelukku terlalu erat setiap aku mau pergi."

"GOTJIMAL (JANGAN BOHONG)!"

Aku yakin Sunghoon sesumbar, tetapi kenapa tatapannya yang hangat itu penuh kejujuran? Apalagi posisi kami berdampingan dengan kedua tanganku melingkar di pinggang Sunghoon.

Ups ....

Sial. Aku malu bukan main. Sunghoon tertawa menyadari sikap bodohku. Perlahan dan canggung, kedua tangan kutarik dari pinggang Sunghoon. Aku berdehem tidak perlu.

"Selamanya begini pun tidak masalah," ucap Sunghoon

Bulu tengkuk meremang mendengar kalimatnya. Aku terjebak dalam zona dewasa sebelum waktunya. Semakin aku menyelami percakapan dengan Sunghoon, semakin tua usianya. Aku tidak siap dalam hubungan intens semacam itu.

"Sudah waktunya kita berburu, Yuri-ya."

Untungnya Sunghoon tidak melanjutkan percakapan semacam itu. Dia paham apa yang kubutuhkan. Tenggorokan kering kerontang. Ucapannya menyebabkan aku menyengir bodoh. Aku suka gagasan berburu, tapi aku ingat kena tembak bius waktu itu. Aku agak kapok berburu di hutan lagi.

"Sungguh tidak apa-apa?" Aku sangsi pada perkataannya.

"Mungkin gerakan kita masih diawasi. Teknisnya hanya kau yang berburu," kata Sunghoon.

"Kau tidak minum?" tanyaku tajam. Aku khawatir atas berbahayanya Sunghoon. Mengingat sikap agresifku semakin meningkat saat kehausan, apalagi Sunghoon yang bertahan tidak minum nyaris sebulan. Kekuatannya lebih baik dibandingkan aku. Aku tidak akan bisa mencegah kekuatannya sebagaimana Sunghoon menahanku saat aku hendak mencabik Appa.

"Akan kutunggu darah dari Gyeonghui saja," tepis Sunghoon.

"Hei! Beli saja darah donor di PMI. Apa susahnya satu kantong darah?"

"Jangan. Darah itu bukan hak kita."

"Memangnya beli donor di bawah terowongan ada bedanya dengan darah di bank PMI?"

"Pendonor di terowongan punya perjanjian jual beli. Beda dengan di PMI, donor dilakukan secara sukarela. Tegakah aku mengambil darah yang bukan hakku? Lagi pula, aku khawatir sekantong darah bisa menyebabkan aku semakin gelap mata. Aku perlu belajar tidak serakah darimu."

✔ 𝘾𝙝𝙤𝙤𝙨𝙚 𝙤𝙧 𝘾𝙝𝙤𝙨𝙚𝙣 [PARK SUNGHOON ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang