[ii-04] Suara

459 145 17
                                    

Jake mendaratkan bokongnya di permukaan tanah. Napasnya terengah-engah. Dia menolak berjalan setelah kuseret dua ratus meter jauhnya dari bangkai rusa. Dia haus dan tergoda pada darah binatang. Namun, Jake sadar rasa darah hewan apapun tidak seenak darah manusia. Jika diibaratkan dengan makanan, darah hewan seperti rebusan ramen tanpa penyedap apapun.

Temanku yang baru tidur panjang itu tidak suka mengonsumsi apapun yang tidak enak. Aku tahu karakter manusianya akan terbawa sampai saat ini. Jake tidak suka sesuatu yang setengah-setengah. Dia menuntut semua yang masuk ke dalam mulutnya sangat lezat, termasuk soal darah.

"Boleh aku pergi ke Gapyeong, minum segalon darah sebelum kita melanglang buana?" harap Jake. Tampang memelasnya tidak ampuh untuk mengecohku.

Aku menggelengkan kepala.

Jake masih beruntung. Paling tidak, dia sudah tidur lama. Energinya penuh. Kontras denganku yang hampir enam belas tahun tidak pernah tidur. Bertahan pun mengandalkan minum secara teratur.

"Tidak akan pulang sampai kita berhasil menemukan Yuri," tandasku berapi-api.

Jake berguling seperti anak kecil di lantai. Merengek ingin darah. Kulempar sebutir permen lezat ke arahnya, berharap apa yang dia terima bisa merendam dahaganya. Jake tidak bergeming. Kakinya menjuntai ke atas. Dia tidak mau permen darah.

"Aku tinggal bilang pada Ketua Park bahwa kau tidak melaksanakan tugas," kataku dengan nada penuh ancaman.

Vampir tidak bisa pusing, tetapi aku kesulitan berpikir dengan jernih. Terlalu banyak hal yang kukhawatirkan dan belum menemukan jawabannya. Sekarang beban semakin bertambah dengan membawa Jake.

"Woonyoung tidak suka vampir cengeng," imbuhku.

"Tapi karena kau terlalu keren, aku salah saing. Kulakukan saja sesuatu yang beda. Buuuuu...." Jake menggelembungkan mulutnya dan bersuara aneh. "Jadilah aku, Jake yang beda dari Sunghoon. Jake yang akan selalu diingat Woonyoung sepanjang malam, meskipun yang diingatnya adalah ingatan buruk. Tidak masalah, asal aku ada dalam kepalanya. Darah .... Aku seharusnya mengajak Woonyoung makan malam. Tapi gara-gara orang ini."

Jake bersungut-sungut. Tidak rela meninggalkan tempat tidurnya. Dia terus meratap, kesal karena bangun lebih awal dan bertemu denganku. Seandainya Jake bangun sejam lebih lambat, pasti dia sangat bahagia menikmati pemandangan kota penuh kekaguman.

"Nyalakan api unggun, Jake. Kita bermalam di sini."

"Tidak bawa korek api," tolak Jake, sengaja memunggungiku.

Malam itu pula, kami duduk berlutut, saling membelakangi. Sesekali Jake mengerang soal Woonyoung. Tanpa suara, aku melangkah ke arah tebing. Kegelapan yang merayap semakin pekat, puluhan makhluk nokturnal terbangun. Beberapa kelelawar melintas tidak acuh mencari mangsanya. Lima langkah di sampingku, seekor ular mendesis ke arah lain, menghindari tatapanku.

Aku kembali menatap sungai. Perlahan kulucuti pakaianku. Aku menerjunkan diri dari tebing berketinggian sepuluh meter. Kecepatan gravitasi memadatkan tubuhku seperkian detik. Dingin menghantam ujung kepalaku lebih dahulu. Aku berenang di dalam sungai, merasakan udara yang lebih bersih usai mencium air.

Berada di bawah gorong-gorong untuk waktu yang sangat lama terlalu melelahkan. Wajar bila aku sedikit uring-uringan. Aku menggosok lengan dan punggungku dengan cepat, lantas menepi di sisi seberang tempat Jake berada. Kutatap rembulan di atas gunung. Begitu bundar sempurna.

"Yuri-ya, bulan pun hadir malam ini. Tidak ada selubung yang menghalangi keindahannya. Awan segan mengganggu pandanganku. Tampakkan dirimu saat ini juga, kumohon," pintaku penuh harap.

Aku tidak bisa mengagumi bulan purnama terlalu lama, jadi kembali ke tempat semula. Memanjat tebing dengan mudah, tetapi telingaku mendengar deru panik Yuri saat kuantar pulang dari Gapyeong pertama kali.

✔ 𝘾𝙝𝙤𝙤𝙨𝙚 𝙤𝙧 𝘾𝙝𝙤𝙨𝙚𝙣 [PARK SUNGHOON ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang