[6] KENA

1K 267 13
                                    

Tidak ada yang bisa tidur setelah mendengar teriakan kagetku. Appa dan Jiho terbangun, mengira ada pencuri masuk rumah. Tangan mereka memegang senjata dari peralatan rumah tangga. Appa memegang tongkat pel. Jiho membawa spatula dan teflon, bersikap jadi ksatria memegang perisai dan spatula. Aku kena semprot Eomma untuk ketiga kalinya. Ini memang salahku bertingkah seenaknya. Siapa yang mau berkeliaran pada pukul 12 malam demi makan sosis jeroan di restoran yang stoknya sudah habis?

Hanya aku.

Masalahnya aku sudah menolak ayam goreng. Jeokbal tidak habis pada gigitan pertama dan sekarang ingin sundae.

Aku pantas kena omel Eomma. Hasratku untuk makan semakin menggelora, tetapi yang aku lakukan hanyalah menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Aku sangat ingin makan sosis jeroan. Eomma punya resep spesial. Walau banyak yang benci sundae karena mengandung banyak organ dalam babi, plus kuahnya diberi darah sebagai bumbu rahasia, buatan Eomma adalah yang terbaik.

"Ya, besok kuberikan sundae sepanci besar!" janji Eomma  akhirnya, "tapi kau bekerja di restoran!"

"Eomma!" sungutku semakin kalah. Membayangkan terjebak di sana sambil mengamati orang bekerja sudah membuatku lelah. Aku meramalkan bahwa nasibku sangat buruk di sana.

"Tidak ada bantahan. Kau kira kena skor dari sekolah bisa membuatmu bersantai di rumah? Kerja sana!" Eomma menegaskan.

Aku menciut. Sidang diselesaikan secara kilat karena kantuk. Semua orang kembali ke kamar masing-masing, menyisakan aku yang merana sendirian. Aku mengembalikan sisa jeokbal ke lemari pendingin. Besok selera makanku pasti akan kembali. Masalahnya, aku kesulitan tidur sampai besok pagi. Sundae merah dengan kuah darah yang super segar, hangat, lezat dan gurih. Wah, kenikmatan purna yang tidak bisa dibandingkan terus menghantui kepalaku.

Pagi berlalu sangat lama karena aku terjaga. Perut keroncongan dan tenggorokanku terlalu kering. Aku mengabaikan sarapan, langsung mengambil obat flu dan vitamin C. Aku tidak boleh sakit, meskipun keluhannya cuma pusing.

Bilur-bilur akibat baku hantam kemarin telah lenyap tanpa sisa. Aku merenggangkan badan dan aku bakal baik-baik saja melayani pelanggan di restoran. Mungkin aku bakal duduk kebosanan di meja kasir, menunggu pelanggan membayar makanannya. Tidak terlalu buruk, padahal aku ingin menuntaskan film yang kutonton semalam.

Aku mencuci muka dan memakan sedikit ayam yang kugigit semalam. Tidak ada rasa apapun. Jiho makan jeokbal sambil menggerutu. Jiho ingin sarapan nasi goreng kimchi, tetapi Eomma terlambat bangun dan menolak masak pesanan anak kesayangannya si Jiho. Jika kupikir lagi, kasih sayang antara aku dan Jiho tetap sama rata. Eomma suka memasak sesukanya. Kalau suasana hatinya tidak baik, keinginan anak-anaknya tidak akan dituruti.

Eomma menarik kerah jaketku saat suara Appa terdengar jauh dan pamit pergi pada Eomma. Aku tidak dibiarkan mengendap keluar rumah sendirian. Eomma memastikan pekerjaan rumah dilakukan bersama, mulai menjemur pakaian dan mengepel lantai. Setelah isinya bersih, kami bertiga—selain Jiho—meninggalkan rumah dan pergi ke restoran warisan keluarga.

Restoran utama hanya berjarak sepuluh menit dari rumah. Bangunannya hanyalah toko dua lantai. Antrian mengular dari jam makan siang sampai jam sembilan malam. Kadang tidak tentu kapan ramainya, tetapi meja-meja selalu penuh pelanggan.

Walau ada tiga cabang lain, tetapi rasa paling otentik adalah rasa yang diracik Eomma secara langsung, alias di restoran pusat. Jadi restoran pusat yang memiliki margin penjualan terbanyak.

Aku berdiri di luar restoran, mengamati papan nama dari kayu yang usang.

Sundae 1979.

Restoran ini sudah ada sejak tahun itu. Penjual pertamanya adalah nenek. Bisa dilihat bahwa yang menciptakan bumbu rahasia adalah nenek, tetapi Eomma yang meneruskan usaha rintisan nenek.

✔ 𝘾𝙝𝙤𝙤𝙨𝙚 𝙤𝙧 𝘾𝙝𝙤𝙨𝙚𝙣 [PARK SUNGHOON ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang