[9] LEGA

893 241 16
                                    

Aku benar-benar takut menghadapi reaksi Eomma sekarang. Bukannya cemas karena putrinya melihat hal-hal aneh, Eomma justru menertawakan aku yang bermasalah dengan mental. Dia tidak percaya ucapanku. Aku dianggap denial.

Eomma terus menanyakan pembuktian soal pandangan mata serba merah, luka biru kehitaman, kaki terseret dan demam yang hilang timbul kualami. Dia menyindirku karena mengalami pubertas dan pilih-pilih soal makanan.

"Nak, Eomma capek bekerja. Hentikan omong kosong ini dan tidurlah!" Eomma merenggangkan badan. Mulutnya menguap lebar karena kelelahan.

Aku kepalang sedih tanpa dukungan. Kenapa Eomma tidak pernah peka? Bukankah orang Korea memiliki mental yang lemah, sehingga ada banyak pusat kesehatan yang memiliki fasilitas orang dengan gangguan jiwa, tetapi Eomma malah tidak peduli begitu saja, ha?

Aku hanya ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja. Aku tersesat dan mulai jijik pada diriku sendiri karena menelan sisa tetes darah. Aku belum mengungkit masalah satu ini dan Eomma sudah masuk kamar untuk tidur, juga pada Minji atau saat fisikku seharusnya penuh bilur kebiruan akibat baku hantam. Aku tidak merasakan pegal sama sekali.

Wajah Appa yang serius membaca koran edisi hari ini menarik atensiku. Aku mendekat dan ingin melanjutkan pembicaraan yang terpotong dengan Eomma. Besar harapan bahwa Appa bakal menyambungkan masalah ini ke Eomma, tetapi yang kudengarkan jauh meluluhlantakkan hatiku.

"Memangnya kau mau jadi orang gila?" tanya Appa tanpa menoleh sekali pun ke arahku. Appa terlalu asyik membaca. Wajahnya sangat serius dan lebih tertarik pada artikel koran.

"Appa, dengan menyadari aku gila atau bukan, aku bisa menerima diriku sendiri."

"Dan membenarkan apapun yang kau lihat?" pancing Appa.

"Bukan!" Aku kesal. Hampir semua orang berlaku seperti itu. Mudah mengecap orang lain menjadi keras kepala, melogiskan semua yang dirasakan padahal wujudnya ada, tetapi bukan seperti itu. Seperti yang kudengar di radio beberapa malam lalu, menerima diri sendiri maksudnya menerima gangguan itu dan berusaha mengatasinya. Bukan memperburuk semuanya.

Hah. Membuatku kesal saja. Lebih baik kulakukan sendiri. Aku hanya ingin semua yang kupikirkan ini salah. Aku hanya terlalu khawatir memiliki trauma.

Aku punya cukup tabungan untuk menebus biaya obat sendiri. Kuyakinkan pada diriku sendiri bahwa aku adalah normal. Aku hanya agak terpengaruh tontonan yang didominasi thriller. Jadi yang kulihat hanyalah imajinasi belaka.

"Mau pergi ke gereja akhir pekan ini, Nak?" ajak Appa, kali ini wajahnya sangat serius.

"Tidak!" Aku menepis keras.

Aku baik-baik saja. Aku tidak butuh segala sesuatu yang melibatkan spiritual. Aku percaya medis.

Pikiran positif terus kuulang sampai aku mengerang frustasi di tempat tidur. Aku kelelahan, tetapi gagal tidur. Mataku semakin terjaga. Berbagai pose tidur tidak bisa membius kelopak mataku terpejam. Aku semakin sibuk membayangkan vonis dokter. Hanya ada dua kemungkinan. Aku gila atau aku waras.

Pikiranku terus berubah-ubah. Aku butuh pendamping yang bisa menguatkan hatiku. Aku mengkhawatirkan banyak hal sampai terdengar suara berisik Eomma menyiapkan sarapan keluarga. Aku mengintip ke arah jendela yang dilapisi tirai tebal. Ruangan mulai terang dan artinya sudah pagi. Aku tidak menyangka waktu cepat berlalu.

Eomma membuka pintu dengan berisik, lupa bahwa aku tidak masuk sekolah. Namun, suara ketukan memberi pengaruh paling buruk. Lebih baik semua badanku diguncang daripada mendengar suara ketukan pintu.

✔ 𝘾𝙝𝙤𝙤𝙨𝙚 𝙤𝙧 𝘾𝙝𝙤𝙨𝙚𝙣 [PARK SUNGHOON ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang