Aku segera melempar bungkus plastik ke tempat sampah, sengaja menyembunyikan jejaknya. Akan tetapi, terlalu bodoh untuk menyembunyikan bau yang mengular di mulut dan tanganku. Aku berdeham keras, pura-pura batuk dan segera menyerbu pintu belakang restoran.
Namun, seratus meter dilalui dalam sedetik juga tidak masuk akal. Aku seperti kungkang yang bergerak lamban, sementara Park Sunghoon sudah menyergapku.
"Cepat sekali!" Bukan aku yang bicara. Padahal seharusnya aku yang berkomentar. Sunghoon tersenyum usai mengatakan itu.
Entah Sunghoon lari atau berjalan cepat, tidak mungkin Sunghoon bisa mencapaiku dalam sekejap. Kulihat gerak hidungnya yang tidak kembang kempis. Artinya dia tidak mengejarku pakai tenaga.
"Kau menahannya terlalu lama," imbuhnya lagi.
Aku tidak paham ucapan Sunghoon. Aku menjilati semua gigiku tanpa harus membuka mulut. Aku harus memastikan tidak ada darah di sela gigi sebelum bicara. Barang bukti harus dihancurkan secepat mungkin.
"Apanya yang lama?" tanyaku setengah membentak. Jujur saja, aku panik dan malu melihat Sunghoon mengetahui aku habis menyesap sesuatu yang menjijikkan.
Kukira, mentalku sedang kacau. Aku harus bicara dengan Eomma untuk pergi bersama ke psikiater.
"Kau." Bibir Sunghoon berkedut menahan senyum. Dia sedang mengendalikan wajah datarnya di depanku. Kami baru berdamai semalam. Sunghoon tentu ingin menahan diri agar tidak mengejekku.
Kalau mulut Sunghoon jebol lagi, akan kupastikan bahwa aku mogok sekolah, lalu Eomma memindahkan aku ke sekolah lain. Aku baik-baik saja asal tidak berada di sekeliling pemuda tampan tapi kurang berwarna itu. Ya, hampir sepanjang yang kulihat, wajah Sunghoon selalu pucat. Sedikit gagasan membuatku merasa pintar. Sunghoon harus mencicipi darah dari kantong plastik yang telanjur dibuang agar kulitnya berwarna.
"Sedang apa kau di sini?" tanyaku makin curiga.
"Aku?" Sunghoon dengan lugu atau bodoh mengeluarkan kotak putih dari kantong celananya.
Aku tidak percaya bahwa isinya rokok.
"Ya!" jeritku tertahan. "Kau merokok?"
"Hm?"
"Sinting!"
Aku menggelengkan kepala. Kepalaku makin campur aduk melihat cowok sempurna macam Sunghoon diam-diam menyesap nikotin.
"Kenapa tidak sekolah?" tanya Sunghoon mengabaikan ejekanku.
"Pikirmu kenapa aku tidak sekolah?"
Astaga, sulit kupercaya bahwa sumber masalah satu ini bertingkah seakan tidak terlibat. Padahal omongannya yang menjadi sumbu bakar. Seandainya Sunghoon tidak mengatakan soal bau sundae restoran, tentu aku tidak akan merasakan yang namanya disiram kuah makanan.
"Aku kena skor!" kataku.
"Jadi kau membantu ibumu kerja di sini selama libur?" selidik Sunghoon.
"Eoh!"
"Baiklah."
Mataku terpicing curiga. Kuharap Sunghoon berhenti menggangguku. Aku cukup senang Sunghoon memberi ruang demi kesehatan tubuh dan mentalku jika tidak muncul lagi selama sisa 'liburan' ini.
"Selamat bekerja." Sunghoon mengacak rambutku, lantas dia berbalik ke arah dia datang. Aku menghela napas kesal dan kena semprot Eomma karena terlalu lama berada di luar.
Tidak ada waktu bersenang-senang. Semua orang sibuk membereskan kekacauan demi membuka restoran. Aku berkeringat banyak berada di depan kompor. Aroma masakan Eomma sangat lezat. Tentu saja aku juga mulai kelaparan. Tepat pada jam istirahat, banyak pekerja kantoran dan konstruksi memesan menu andalan di restoran kami. Hampir semua meja penuh orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ 𝘾𝙝𝙤𝙤𝙨𝙚 𝙤𝙧 𝘾𝙝𝙤𝙨𝙚𝙣 [PARK SUNGHOON ENHYPEN]
Hayran KurguYoo Yuri digigit vampir di sekolah dan mengalami proses anomali saat transformasi menjadi vampir. Kesialan Yuri sebagai korban perundungan semakin menjadi. Dia balas melawan pengganggu di sekolah dengan kekuatan anehnya. Siapa sangka bahwa di Distri...