Taylor menyelesaikan pekerjaannya, sebelum pukul 5 sore. Setelah menyelesaikan semua itu, Taylor melapor kepada Harry yang sedari tadi tak ke luar dari ruangan. Harry terlihat tengah terjebak dalam sebuah pikiran. Taylor tak tahu apa itu. Harry sangat pendiam hari ini walaupun, kenyataannya, dia memang pendiam.
"Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Boleh aku pulang?" Taylor bertanya pelan. Harry tak bergeming sedikitpun. Tangannya terlipat di atas meja dan tatapannya fokus ke depan. Taylor mendengus sebelum melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Harry hingga Harry tersadar.
"Ya?" Harry bertanya, tak mendengar ucapan Taylor tadi.
Taylor memutar bola matanya. "Aku bilang, aku sudah menyelesaikan pekerjaanku hari ini. Jadi, boleh aku pulang?" Taylor mengulangi pertanyaannya. Harry menarik nafas dan memejamkan mata sekilas, sebelum kembali menatap Taylor dengan mata hijau indahnya.
"Duduk." Perintah Harry. Taylor menatap atasannya tersebut dengan bingung namun, dia menurut. Taylor menarik kursi dan duduk tepat di hadapan Harry. Harry masih menatapnya tajam. Taylor tak mengerti, apa yang akan Harry lakukan padanya.
"Har-," Taylor hendak berbicara namun, Harry buru-buru memotong ucapannya.
"Aku butuh bantuanmu, Taylor."
Taylor terkejut mendengar ucapan tersebut. Taylor menatap Harry, seakan-akan ada yang salah dengan pria itu namun, Harry terlihat sangat serius. Tak ada yang salah dengannya.
"Bantuan apa? Apa harus hari ini? Maaf, bukan menolak perintahmu tapi, aku butuh istirahat." Ujar Taylor lembut. Harry menganggukkan kepalanya. "Aku tahu kau lelah tapi, aku benar-benar membutuhkan bantuanmu. Ini tak akan menguras banyak tenaga." ujar Harry. Taylor mengangkat sebelah alisnya bingung. "Memangnya, bantuan seperti apa yang bisa kulakukan untukmu?" tanya Taylor.
Harry menarik nafas, menahannya selama beberapa detik sebelum menghembuskannya. Mata hijau Harry kembali menatap mata biru Taylor.
"Kau harus menjadi pacarku."
Taylor diam, berusaha mencerna maksud kata-kata Harry sebelum menyadari semuanya. Taylor secara refleks bangkit berdiri dari kursinya dan membulatkan matanya. Taylor menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, tidak. Kau pasti gila, kan? Apa sesuatu yang keras membentur kepalamu sehingga kau berbicara seaneh ini?"
Harry memutar bola matanya. "Duduk, Taylor. Aku akan menjelaskan semuanya. Bisakah kau lebih tenang?"
Taylor menatap Harry tak percaya namun, akhirnya dia menurut untuk kembali duduk. Mata Harry masih menatap Taylor tajam.
"Dengarkan aku, jika kau berpikir aku menyukaimu, kau salah besar. Kau tak masuk dalam tipeku sama sekali. Aku ingin aku menjadi pacarku untuk menghindari perjodohan bodoh yang akan dilakukan oleh Ibuku jikalau aku tidak mendapatkan pacar akhir-akhir ini." Harry menjelaskan. Taylor mengerucutkan bibirnya. "Kenapa kau tak cari gadis lain, yang bersedia untuk berpura-pura? Kenapa harus aku? Maaf saja, menjadi asisten pribadimu saja sudah membuatku tertekan apalagi jika harus menjadi pacarmu meskipun hanya pura-pura."
"Jika kau tertekan menjadi asisten pribadiku, kenapa kau masih bertahan di sini?" Harry balik bertanya. Taylor memutar bola matanya. "Tentu saja karena aku butuh pekerjaan! Jika aku tak membutuhkan pekerjaan, aku tak akan mau menjadi asisten pribadimu. Hari pertama saja, kau membuatku pulang malam. Hari kedua, kau memberiku tugas sebanyak ini. Lama-kelamaan, aku bisa mati karena tak mendapat istirahat yang cukup!"
Harry tersenyum miring-terlihat sangat sinis. "Taylor, jika kau membantuk untuk hal yang satu ini, kau tak akan mengerjakan hal semelelahkan ini. Aku tak akan memberikan tugas berat untukmu dan aku akan membayarmu dua bahkan tiga kali lipat dari gaji yang tertera pada surat kontrakmu. Bukankah ini tawaran yang sangat menggiurkan?" tanya Harry. Taylor menggelengkan kepala. "Aku tak mau bermain-main dengan sebuah hubungan. Jika kau mau, kau bisa mencari gadis lain. Biar aku tetap menjadi asisten pribadimu."
Harry kembali tersenyum sinis. "Kau pikir, aku bodoh? Kau pikir, aku percaya dengan perkataanmu mengenai alasanmu pergi ke London? Aku tahu, Taylor. Aku tahu segalanya tentang dirimu. Kau pergi ke London, atas perintah orangtuamu, kan? Kau tahu kenapa mereka memerintahkanmu pergi ke London?" Taylor hanya diam, mendengarkan.
"Karena kau anak kesayangan mereka dan mereka tak mau kau melihat kehancuran mereka." Harry melanjutkan ucapannya. Taylor memicingkan matanya. "Kau bercanda? Bisnis orangtuaku berjalan lancar dan sebentar lagi, aku akan mengambil alih bisnis itu dan memajukannya."
Harry terkekeh. "Swift's Restaurant? Sebentar lagi, tak akan kau temui restoran itu di manapun karena hutang orangtuamu yang melimpah." Taylor menggelengkan kepalanya dan bangkit berdiri. "Berhenti! Kau pembohong! Aku tak akan mempercayaimu!"
"Aku tak pernah memintamu untuk mempercayaiku. Aku hanya memberitahu keadaan keluargamu di Amerika itu." Harry mengedikkan bahunya. Nafas Taylor semakin menggebu-gebu. Dia tak tahu apa yang terjadi tapi, sepertinya Harry jujur. Lagipula, semua yang Harry katakan, hampir keseluruhan benar. Taylor memang diperintahkan untuk tinggal di London oleh orangtuanya, tanpa alasan yang jelas.
"Kunci orangtuamu ada padaku. Ayahmu adalah Scott Swift, bukan? Well, dia sahabat mendiang ayahku. Kemarin, dia mengirimiku email yang berisi permintaan agar aku memberikannya pinjaman dalam jumlah yang cukup besar. Aku belum menjawab email itu. Apa kau mau melihatnya? Sebagai bukti jika aku tak berbohong." Harry bertanya santai. Taylor menggelengkan kepalanya. "Kau pasti bercanda."
Harry tersenyum. "Baiklah. Kalau kau tak mau, tak apa, Taylor. Aku tak memaksamu. Aku hanya ingin membantu orangtuamu. Aku tak akan memecatmu sebagai asisten pribadiku, jika kau tak mau melakukan hal ini."
Taylor memejamkan mata sambil mengatur pernafasan. Tak lama kemudian, Taylor kembali membuka mata dan berhadapan langsung dengan mata indah Harry.
"Berapa lama?"
Harry tersenyum lebih lebar. Tangan kanannya digunakan untuk menopang kepalanya. "Entahlah. Mungkin, sampai aku mendapatkan calon pasangan yang tepat untukku."
Taylor mengernyit. "Bagaimana jika kau tidak mendapatkan calon pasangan yang tepat itu?"
Senyuman Harry sirna. Harry berpikir sejenak sebelum berkata dengan sangat pasrah, "berarti kau yang harus menjadi pasanganku."
Taylor tertawa sinis. "Kau tahu? Mana bisa seperti itu. Aku tak mau berpasangan dengan seseorang yang tak mencintaiku."
"Oleh karena itu, kita harus belajar untuk saling mencintai."
Ucapan Harry itu membuat Taylor diam. Harry masih menatapnya lekat. "Aku tak akan mencintaimu." Taylor berkata, menekankan. Harry tersenyum tipis. "Yakin?" tanya Harry, menantang. Taylor menganggukkan kepala pasrah dan balas tersenyum tipis. "Harry, aku bukan gadis gampangan, seperti yang lain. Jika kau berminat untuk mempermainkanku, maaf, kau tak akan menang."
"Aku tak berminat sedikitpun untuk mempermainkanmu." Ujar Harry.
Taylor bingung harus merespon Harry dengan apa. Setiap perkataan yang Taylor ucapankan, mampu dibalas Harry dengan tepat. Seakan-akan, Harry sudah mempersiapkan dengan sangat baik, jawaban dari pertanyaan Taylor, sejak jauh-jauh hari.
Harry menyandarkan punggungnya pada sandaran kursinya. Dia menyatukan jari-jari tangan dengan tatapan yang masih terfokus pada Taylor. "Kau membantuku, aku akan membantu orangtuamu. Bukankah itu terdengar seimbang? Hubungan timbal balik antara aku dan kau?"
Taylor masih larut dalam pikirannya.
"Taylor, kau tak akan menyesali semua ini. Aku berjanji padamu, semuanya akan berjalan sesuai perjanjian." Harry berusaha meyakinkan Taylor. Taylor menatap Harry lekat. Harry membeku. Tatapan Taylor kali ini terlihat sangat berbeda dari tatapan-tatapan gadis itu sebelumnya. Tatapan kali ini terlihat sangat...dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Control
FanfictionMungkin semua tahu. Tak ada yang dapat mengontrol seorang Harry Styles, sebelum Taylor Swift datang dan mengubah segalanya.