"Bagaimana mungkin Ibumu ingin kau dan aku menikah? Aku tak mungkin menikahimu! Aku hanya mau menikah dengan pria yang aku cintai dan mencintaiku!" Wajah Taylor terlihat sangat terkejut saat dia dan Harry sudah berada di dalam mobil. Harry akan mengantar Taylor kembali ke apartemennya.
"Lalu?" Harry bertanya santai.
Taylor menoleh ke Harry dengan tatapan membunuh. "Aku tak mau menikah denganmu, sungguh! Tidak seharusnya aku menyetujui hal-hal bodoh seperti ini! Bagaimana jika Ibumu memaksamu untuk benar-benar menikahiku? Aku tak mau dan aku tak akan mau!"
Harry melirik sekilas Taylor sebelum fokus menatap ke jalan. Taylor sepertinya sudah mulai terbiasa dengan cara Harry mengemudi. Taylor tak terlihat ketakutan seperti tadi, saat perjalanan menuju ke rumah Harry.
"Kau tak mau menikahiku? Kau pasti bercanda." Harry menggelengkan kepalanya. Taylor memutar bola matanya sebelum menatap ke sisi kanan, kaca mobil. "Tak ada yang menarik darimu, yang membuatku mau menikahimu. Aku tak mau menikah dengan seseorang sepertimu. Kau terlalu gila bekerja dan terlihat tak punya perasaan."
"Benarkah?"
"Ya. Aku bahkan sangsi jika kau punya hati. Kalaupun kau punya hati, hatimu itu pasti sudah dibekukan oleh Tuhan." Taylor berkata tanpa rasa bersalah sedikitpun, masih menatap keadaan jalan London melalui kaca mobil tersebut.
"Bagaimana kau dapat menyimpulkan jika aku tak punya hati, Miss. Swift?"
"Pertama, kau memintaku bekerja tanpa memikirkan, apakah aku akan kelelahan atau tidak. Kedua, kau tidak pernah tersenyum atau mungkin kau lupa caranya untuk tersenyum. Ketiga, kau sangat dingin dan tak ramah. Setiap ada yang menyapamu, kau tak pernah menyapa mereka balik. Setiap berada di dekatmu, aku juga merasakan hawa dingin itu." Taylor menjelaskan, masih tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Jadi, kau mau aku yang bagaimana?" Taylor terkejut saat tiba-tiba saja Harry menekan pedal rem dan membuat tubuh Taylor nyaris menabrak sisi mobil jika saja dia tidak mengenakan sabuk pengaman. Mobil berhenti tiba-tiba di tengah jalanan kota London yang kebetulan memang tak begitu ramai. Tapi, tetap saja. Menghentikan mobil di tengah jalan bukanlah hal yang membanggakan! Jalanan kota London tak pernah kosong!
Baru beberapa detik mobil Harry berhenti, sudah terdengar klakson. Taylor menoleh ke arah Harry dengan wajah terguncang. "Kau mau membunuhku?!" tanya Taylor kesal. Harry menatapnya lekat. Klakson mobil terdengar semakin banyak dan bergemuruh. Taylor menatap Harry tak percaya. "Apa yang kau lakukan di tengah jalan, Bodoh?! Kemudikan mobilnya! Kau membuat kemacetan."
Harry meringis sebelum mulai melajukan mobilnya kembali. Taylor terus bergumam kesal atas tindakan bodoh Harry. Harry menghela nafas dan tiba-tiba saja, dia kembali menghentikan mobilnya. Kali ini bukan di tengah jalan tapi, di tepi jalan. Membuat Taylor membulatkan mata kesal.
"Harry, dengar. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Apa mobilmu rusak? Mogok? Oh, sial." Taylor menyandarkan punggungnya. Harry melepaskan sabuk pengamannya dan memutar posisi tubuhnya, menjadi menghadap Taylor. Taylor melakukan hal yang sama. Matanya masih menatap Harry, kesal.
"Apa kau berminat menurunkanku di sini? Kau tak mau mengantarkanku pulang sampai ke apartemen? Baiklah. Aku mengerti. Aku akan turun. Terima kasih atas tumpanganmu." Taylor melepaskan sabuk pengamannya dan saat hendak membuka pintu mobil, Harry menarik lengan Taylor, membuat gadis itu kembali duduk.
"Jangan bicara sebelum aku memerintahkanmu untuk bicara." Perintah Harry. Taylor memicingkan mata dan melipat tangannya di depan dada.
"Kau tak dapat mengontrolku, Harry. Kau hanya atasanku di kantor. Sekarang, kita sudah berada di luar kantor dan aku bebas melakukan apapun." Taylor berujar berani. Harry menyeringai. "Kau akan selalu berada di dalam kontrolku, Taylor. Akulah pengontrolmu, sekarang."
Taylor menggigit bagian dalam pipinya, berusaha menahan kekesalan. Harry benar-benar menyebalkan. Sekarang, Taylor tahu apa yang membuat banyak orang tidak betah menjadi asistennya. Selain tak punya hati, Harry juga orang yang sangat mendominasi. Dia senang mengontrol orang lain. Dia senang mengendalikan orang lain.
"Aku tak menghentikan mobil secara tiba-tiba untuk menurunkanmu di sini, Taylor. Aku tahu, kau tak tahu banyak tentang jalanan kota London. Belum sebulan kau berada di sini, kan?" Taylor tak menjawab pertanyaan Harry tersebut. Taylor berusaha sebisa mungkin menghindari tatap mata langsung dengan Harry.
"Aku perlu membuat perjanjian lainnya denganmu." Harry meneruskan ucapannya.
"Bisa kita bicarakan besok saja? Aku lelah dan aku butuh istirahat. Aku harus bangun pagi besok." Taylor mengelak. Harry masih menatapnya lekat. "Aku memberikanmu kompensasi untuk datang terlambat besok karena aku benar-benar ingin membicarakan hal ini sekarang. Di sini."
"Perjanjian lisan, eh? Tanpa adanya bukti hitam putih? Kau yakin?" tanya Taylor, menantang. Harry menganggukkan kepala. "Ya. Ini perjanjian lisan dan kau harus menepatinya. Jika tidak, kau tahu, aku pengontrol di sini. Kau akan mendapatkan sesuatu yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya."
Taylor menahan nafas. "Jelaskan." Taylor meminta tegas.
"Kau harus mempercayaiku."
Taylor mengernyit mendengarkan ucapan Harry. "Perjanjian macam apa ini? Mana ada perjanjian tentang mempercayai seseorang! Aku akan mempercayaimu jika hati dan pikiranku mengatakan untuk mempercayaimu!"
"Beritahu hati dan pikiranmu untuk mempercayaiku." Harry berkata santai. Taylor memutar bola matanya. "Aku tak berjanji."
"Kau harus berjanji padaku." Harry menuntut.
Taylor menggeleng. "Tidak, terima kasih. Aku sudah mempunyai banyak perjanjian bodoh denganmu. Kali ini, aku tak bisa menurutimu. Aku tak mau mempercayaimu dan aku tak akan mempercayaimu."
"Apa yang harus kulakukan agar mendapat kepercayaanmu?"
"Kepercayaan tak dapat dipaksakan, Harry. Mungkin aku akan mempercayaimu nanti tapi, sekarang, aku tak punya kepercayaan sedikitpun padamu. Jadi, maaf." Taylor berujar lembut. Harry memejamkan matanya singkat sebelum membukanya kembali.
"Taylor, kau gadis teraneh yang pernah kukenal," ujar Harry tiba-tiba dengan seringai di wajahnya. Taylor menganggukkan kepala, "ya, aku memang aneh. Jangan khawatir, tanpa kau beritahu, aku sudah mengetahui hal itu."
Harry tersenyum tipis. "Kau tahu apa yang membuatmu aneh?"
Taylor mengedikkan bahu. "Aku tak tahu. Tapi, aku aku merasa aneh sejak lama. Mungkin wajahku yang aneh. Rambutku yang aneh. Sikapku yang aneh. Dan semua tentangku memang aneh."
"Selain aneh, kau juga penuh teka-teki." Harry menambahkan. Taylor menyeringai. "Begitupun kau, Harry." Taylor membalas. Harry mengangguk setuju. "Aku memang sengaja membuat diriku sebagai sebuah teka-teki. Aku menunggu orang yang tepat untuk dapat menemukan kebenaran dalam hidupku." Harry menjelaskan. Taylor terkekeh.
Kemudian, suasana hening di sekitar keduanya. Taylor menundukkan kepala dan Harry menatap fokus ke depan. Taylor menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk bersikap normal tapi, ada sesuatu yang aneh saat dia menatap Harry. Rasanya sangat aneh.
"Taylor," akhirnya, Harry memecahkan keheningan di antara mereka. Cahaya lampu di tepi jalan kota London membuat wajah keduanya bercahaya. Terlihat sangat indah.
Taylor mengangkat wajahnya untuk dapat menatap Harry. Iris hijaunya benar-benar menghipnotis dan sangat indah. Taylor sangat jarang menemui orang dengan iris mata hijau. Tapi, iris mata Harry adalah yang paling berkesan dan paling indah.
"Kau sudah mendapatkan kunci untuk dapat menemukan jawaban dari teka-teki dalam diriku." Taylor tak tahu harus berkomentar apa. Sejujurnya, dia juga tak mengerti apa yang Harry bicarakan. Harry menghela nafas, menundukkan kepala sebelum mengangkatnya kembali. "Taylor." Harry berujar tegas, menatap dalam-dalam mata Taylor.
"Kau sangat berbeda dari yang lain dan sepertinya, aku mulai menyukaimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
No Control
FanfictionMungkin semua tahu. Tak ada yang dapat mengontrol seorang Harry Styles, sebelum Taylor Swift datang dan mengubah segalanya.