Harry menoleh ke Taylor yang duduk di sampingnya. Sedari tadi, sejak mereka ke luar dari restoran tempat diadakannya pesta, sampai mereka berada di sini, di tempat parkir apartemen Taylor, Taylor hanya diam. Harry juga diam. Tak tahu harus bicara apa.
"Maaf atas kejadian malam ini, Tay." Harry angkat bicara. Taylor mengangguk lemah. "Bukan salahmu." Jawab Taylor santai.
"Lebih baik kau beristirahat. Sampai bertemu besok di kantor," ujar Harry. Taylor kembali menganggukkan kepala sebelum membuka pintu mobil Harry dan berjalan ke luar. Harry belum pergi sampai akhirnya, Taylor benar-benar menghilang dari pandangannya. Harry masih di sana, berada di dalam mobil, tak tahu apa yang harus dia ucapkan.
Harry menggelengkan kepala. Tidak, dia tidak bisa bertingkah seperti ini. Taylor pasti cukup terpukul dengan kejadian tadi. Harry merasa sangat bersalah. Tidak seharusnya dia membawa Taylor ke sana, sehingga Lea menemukan mereka dan mempermalukan mereka. Harry tidak malu mengakui Taylor sebagai pasangannya karena menurut Harry, tak ada yang salah dari seorang Taylor Swift. Yang membuat Harry malu adalah Lea yang terlalu besar bicara. Seharusnya Harry tegas dan meminta gadis itu menjauh. Seharusnya Harry tidak bersikap baik pada gadis tak punya sopan santun seperti itu.
Harry akhirnya memutuskan untuk ke luar dari mobilnya dan memasuki area apartemen Taylor. Harry berjalan menuju ke apartemen Taylor yang berada di lantai dua. Sesampainya di depan pintu apartemen Taylor, Harry menghela nafas. Menyiapkan diri untuk menghadapi Taylor. Harry merasa sangat buruk melihat Taylor yang seperti tadi.
Harry mengetuk pintu apartemen secara perlahan. Setelah berapa ketukan, pintu apartemen terbuka. Wajah Taylor menyembul dari celah pintu yang terbuka sebelum akhirnya, membuka pintu lebar-lebar saat menyadari Harry-lah yang berada di depan pintunya. Taylor mengangkat sebelah alisnya, menatap Harry dengan bingung.
"Apa yang kau lakukan di sini? Kupikir, kau sudah pulang ke rumahmu," ujar Taylor.
"Hanya ingin memastikan kau baik-baik saja." kata Harry.
"Aku baik-baik saja," Taylor tersenyum tipis dan Harry balas tersenyum tipis kepadanya. "Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu besok. Selamat malam dan mimpi indah, Tay." Taylor terdiam sejenak mendengar Harry memanggilnya dengan sebutan 'Tay'. Selama ini, yang memanggilnya 'Tay' hanyalah orang-orang tertentu yang memang dekat dengan Taylor.
Saat Harry berbalik dan hendak melangkah berjauh, terdengar suara gemuruh petir. Harry sempat menghentikan langkahnya sesaat sebelum melanjutkan langkahnya lagi dengan perlahan. Taylor menatap punggung Harry yang semakin menjauh, berpikir keras. Jika ada bunyi petir seperti itu, bukankah berarti akan turun hujan? Mana mungkin Taylor membiarkan Harry mengendarai di tengah hujan.
"Harry!" Taylor memanggil Harry yang sudah mencapai depan lift. Harry menoleh kepadanya, mengerutkan dahinya sambil memasang gerak tubuh seakan bertanya, 'ada apa?'
Taylor berjalan mendekati Harry. Tak benar-benar dekat. "Akan hujan, sepertinya."
"Aku tahu," Harry menjawab tenang.
"Kau akan berkendara dalam keadaan hujan?" tanya Taylor memicingkan matanya.
"Memangnya kenapa?" Harry balas bertanya dengan bingung.
"Apa kau lupa bagaimana caramu berkendara? Kau berkendara seakan kau berada di area balapan! Jika hujan, kau bisa tergelincir dengan cara berkendara bodohmu itu!" Taylor mengomel. Harry terkekeh. "Aku sudah sangat profesional dalam mengendarai mobil di tengah hujan." Harry berujar angkuh.
Taylor memutar bola matanya. "Baiklah. Selamat berkendara. Padahal, aku baru saja hendak menawarkanmu untuk makan malam bersamaku. Bukankah kau belum makan malam?" Harry mengangkat sebelah alisnya. "Wah, benarkah? Ide bagus! Aku akan pergi setelah hujan reda, okay?" Harry mengubah ucapannya dengan cepat. Taylor terkekeh. "Bukankah kau seorang pengendara profesional? Kau bisa pergi dan makan malam di restoran."
"Tapi, aku lapar sekarang." Harry berjalan mendekati Taylor. Taylor tersenyum dan melipat tangan di depan dadanya sebelum berbalik, berjalan kembali menuju apartemennya sambil berkata, "aku tahu kau lapar."
*****
Sudah hampir dua jam berlalu sejak Harry dan Taylor selesai makan malam dan hujan tak kunjung reda. Ya, hujan turun saat Taylor tengah memasak makan malamnya bersama Harry, berupa pasta instan.
"Aku suka rambut barumu," komentar Harry saat dia dan Taylor tengah duduk berdampingan, menonton sebuah acara di televisi. Taylor tampak sibuk menatap televisi sementara, Harry malah sibuk memainkan rambut Taylor.
"Seharusnya kau mengomentari rambutku sejak tadi," balas Taylor yang membuat Harry terkekeh dan masih asyik memainkan rambut Taylor. "Jadi, kau menunggu aku berkomentar tentang rambut barumu?" tanya Harry, sedikit menggoda. Taylor menggeleng, matanya masih fokus menatap televisi. "Harry, berhenti memainkan rambutku! Aku sedang fokus menonton!"
Harry tak menghiraukan ucapan Taylor. Dia semakin asyik memainkan rambut Taylor dan Taylor memutuskan untuk mengabaikan pria itu.
"Sepertinya hujan tak akan reda hingga besok," ujar Harry, melirik ke arah jendela yang sebenarnya tidak begitu terlihat jelas ke luar sana.
Taylor bergerak, meraih remot televisinya dan mematikan televisinya, begitu saja. Taylor kembali duduk di samping Harry dan membuat Harry menatapnya bingung.
"Kenapa kau mematikan televisinya?" tanya Harry.
"Kau tidak menontonnya, kan? Lagipula, aku tak mengerti dengan acara itu. Tak menarik," jawab Taylor. Harry mengangguk setuju, sebelum kembali menatap ke jendela. Entah kenapa, Harry fokus menatap jendela itu, sampai akhirnya, dia merasakan sesuatu menyentuh pundaknya, dengan sangat lembut. Harry mengalihkan pandangannya, mendapati Taylor yang menyandarkan kepalanya di pundak Harry.
"Harry," Taylor memanggil Harry dengan suara yang terdengar sangat...lembut. Harry menggigit bibir bawahnya, merasa gugup. Harry Styles merasa gugup? Ya, dia memang gugup dan Taylor Swift-lah satu-satunya orang yang membuatnya gugup. Harry menggerakkan tangannya, menyentuh pundak Taylor lembut dan sedikit menekannya. Taylor tak marah memberi respon apapun.
"Aku memikirkan ucapanmu beberapa waktu lalu, saat kita ada di Nashville." Taylor meneruskan ucapannya. Harry mengernyit. "Ucapanku? Yang mana?" tanya Harry, berusaha mengingat ucapannya sendiri.
"Kau bilang, kau dan aku menjadi pusat perhatian karena kita serasi. Kau masih ingat, kan?" tanya Taylor, berusaha membuat Harry mengingatnya. Harry tersenyum dan menganggukkan kepala. "Tentu saja aku mengingatnya dan aku benar-benar mengucapkan itu dari dasar hati, jika kau ingin tahu."
"Bagaimana kau bisa menyimpulkan jika kita serasi?" tanya Taylor, meminta penjelasan.
"Kau dan aku, mempunyai latar belakang yang sangat berbeda, mempunyai sifat yang sangat berbeda, itu yang membuat kita serasi. Kita ada untuk saling melengkapi dalam keberbedaan kita. Kita ada untuk saling menyeimbangkan." Jawab Harry yang membuat Taylor tersenyum tipis.
"Kalau begitu, kenapa kita tidak mencoba membuat semuanya menjadi nyata?" tanya Taylor lagi. Kali ini, Harry menatap gadis itu sambil mengernyit. "Apa maksudmu?" tanya Harry, tak mengerti. Senyuman Taylor melebar. Tangan Taylor bergerak meraih tangan Harry yang bebas dan menggenggamnya erat. Harry terdiam, membiarkan Taylor melakukan hal itu.
"Kenapa kita tidak menjadi pasangan yang sesungguhnya? Mengabaikan kontrak-kontrak bodoh yang ada. Kau dan aku serasi, kan?" tanya Taylor, menyatukan jari-jarinya dengan Harry dan menggenggamnya. Harry diam sejenak dan senyuman muncul di bibir pria berambut keriting tersebut. Harry balas menggenggam tangan Taylor.
"Ya, benar." Harry menyandarkan kepalanya di atas kepala Taylor, memejamkan mata, merasakan kebahagiaan yang sangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Control
FanfictionMungkin semua tahu. Tak ada yang dapat mengontrol seorang Harry Styles, sebelum Taylor Swift datang dan mengubah segalanya.