Taylor Swift menghela nafas panjang seraya menatap pantulan bayangan dirinya di cermin. Tampak sangat cantik dengan gaun putih panjang yang melekat dengan sempurna di tubuhnya. Make up-nya juga tak berlebihan, menambah kesan kalau dia memang cantik natural. Rambut pendeknya di ikat ke belakang dengan berbagai hiasan.
"Taylor,"
Suara itu membuat Taylor. Taylor tersenyum gugup saat mendapati orangtuanya tengah berjalan menghampirinya, dengan pakaian formal mereka.
"Aku tak percaya putriku akan menjadi seorang ratu hari ini," mata Andrea Swift tampak berkaca-kaca. Scott tersenyum dan merangkul Andrea. Taylor ikut tersenyum haru. "Mom, selamanya, aku akan menjadi putrimu, apapun yang terjadi."
Andrea berjalan mendekati Taylor dan memeluk anak gadisnya tersebut dengan erat. Taylor balas memeluk Ibunya.
"Aku sangat menyayangimu, Taylor. Kau dan Austin adalah anugrah terindah yang pernah Tuhan berikan kepadaku. Sekarang, kau akan pergi, bergabung dengan keluargamu yang baru." Andrea berujar dengan terisak. Taylor diam, berusaha untuk tidak menangis. Jika dia menangis, make up yang ada di wajahnya bisa luntur. Padahal butuh hampir satu jam untuk memoleskan make up itu.
"Mom, aku juga menyayangimu. Kau Ibu terbaik yang pernah ada. Selamanya."
Kemudian, keduanya melepaskan pelukan masing-masing dan tertawa. Taylor beralih ke Scott dan memeluk Ayahnya tersebut. Scott menarik nafas sebelum balas memeluk putrinya.
"Aku mencintaimu, Dad. Kau yang terbaik. Terima kasih sudah menjadi pahlawanku sampai detik ini," ujar Taylor. Scott tersenyum. "Aku akan terus menjadi pahlawanmu, Tay. Aku akan memukul Harry jika dia melakukan sesuatu yang buruk padamu." Taylor terkekeh seraya melepaskan diri dari Ayahnya tersebut.
"Siap?" Tanya Scott.
Taylor menghela nafas sebelum menganggukkan kepala mantap.
"Aku siap."
*****
"Man, aku tak percaya kau akan menikah hari ini!" Niall menepuk bahu Harry yang tengah duduk, menatap pantulan wajahnya di cermin. Harry menarik nafas dan menghelanya perlahan.
"Aku gugup." Ujar Harry.
Niall terkekeh. "Tentu saja kau akan gugup, makanya aku berada di sini, untuk menghiburmu karena aku tahu, yang lainnya tak akan bisa menghiburmu seperti aku."
Harry mengangkat satu alisnya, menatap pantulan wajah Niall di cermin. "Bagaimana caranya?"
"Bagaimana jika aku bernyanyi untukmu? Suaraku adalah suara terbaik di Irlandia." Niall tersenyum lebar. Harry memutar bola matanya. "Tidak, tidak. Bisa-bisa aku sakit sebelum mengucapkan janji suciku nanti." Niall memukul pelan kepala Harry.
"Bro, kau sangat kejam padaku!"
Harry terkekeh.
Tak lama kemudian, pintu ruangan ,terbuka. Tampak Gemma dan Anne yang berjalan masuk. Gemma berjalan cepat, memeluk Harry dengan wajah sangat ceria.
"Little brother, aku tak percaya kau akan menikah hari ini! Kau mendahuluiku!"
Harry tertawa. Gemma melepaskan pelukannya.
"Pastikan, aku akan mendapat keponakan dengan cepat," Gemma mengedipkan matanya sebelun menyingkir, membiarkan Anne bergantian memeluk Harry. Harry balas memeluk Ibunya tersebut dengan erat.
"Aku senang kau mau berkomitmen dalam membina keluarga. Ayahmu pasti akan sangat bangga jika dia berada di sini saat ini," Anne melepas pelukannya dan tersenyum kepada Harry. Harry balas tersenyum kepada sang Ibu.
"Aku mencintaimu, Mom." Ujar Harry.
"Aku juga, Harry. Lebih dari yang kau bayangkan."
Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Kali ini muncul sahabat-sahabat Harry yang lain, seperti Liam, Zayn, dan Louis. Mereka tampak sangat tampan dengan pakaian formalnya.
"Hei, sudah waktunya, Bro. Ayo, berangkat! Tak lucu, kan, jika pengantin prianya terlambat?" Ujar Liam. Harry menarik nafas dan menghelanya sebelum menatap ke arah Ibunya, yang hanya memberi senyuman dan anggukkan kepala.
"Baiklah. Aku siap."
Harry mulai melangkah ke luar ruangan, yang lain mengikutinya dari belakang.
*****
"Jangan gugup."
Pendeta itu berbisik kepada Harry yang sudah berada di lantai, menunggu kedatangan sang mempelai wanita. Harry tersenyum tipis kepada pendeta tersebut. Wajahnya tampak pucat, keringat dingin ke luar dari pori-pori wajahnya.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi bel yang menandakan jika acara akan segera di mulai. Harry menahan nafas saat melihat pintu yang semula tertutup, terbuka secara perlahan.
Harry benar-benar tak bisa mengalihkan perhatiannya saat melihat Taylor yang berjalan, dengan tangan yang melingkar di lengan sang Ayah, Scott. Taylor tampak sangat cantik, mengenakan gaun putih panjang yang sangat cocok untuknya.
Scott menuntun anaknya secara perlahan, menuju ke altar. Di belakang Scott dan Taylor, tampak Gemma, Karlie, Abigail dan Kate yang memegang bucket bunga. Di belakang pengiring penganten wanita itu juga ada Zayn, Louis, Niall dan Liam.
Kemudian, Scott melepaskan lengannya dari Taylor, membiarkan sang putri berjalan lebih mendekat ke arah altar, hingga sampai di tempat di mana mereka akan melangsungkan janji suci mereka. Sedari tadi, Taylor menundukkan kepala, tak berani melihat apa yang terjadi sementara, Harry juga hanya diam saja, dengan tatapan yang terfokus kepada Taylor.
Acara di mulai dengan berbagai sambutan, sebelum sampai di acara puncak. Janji suci. Mereka mengucapkan janji suci mereka sendiri.
"I, Harry Edward Styles, take Taylor Alison Swift, to be my wife and love of my life, to have and to hold from this day forward, for better and for worse, for richer and for poorer, in sickness and in health, to love and to cherish, till death do us apart, according to God's holy law, and this is my solemn vow."
Mata Harry dan Taylor menyatu saat Harry mengucapkan janji suci tersebut. Taylor menghela nafas dan mengucapkan janji sucinya.
"I, Taylor Alison Swift, take Harry Edward Styles to be my husband and love of my life, to have and to hold from this day forward, for better and for worse, for richer and for poorer, in sickness and in health, to love, to cherish and to obey, till death do us apart, according to God's holy law, and this is my solemn vow."
Setelah itu, senyuman muncul di bibir keduanya.
"Sekarang, kalian sudah resmi sebagai suami-istri. Semoga Tuhan memberkati pernikahan kalian." Ujar sang pendeta sebelum mulai menulis sesuatu. Saat itu pula, Harry memanggil sang pendeta dengan suara yang tentunya menggema di gereja yang kedap suara tersebut.
"Sir!"
Pendeta itu menoleh. Seisi ruangan terkejut, begitupun Taylor. Dengan wajah yang sudah kembali normal, tidak pucat dan gugup, suara Harry menggema.
"Apa kau tak akan meminta aku untuk mencium istriku?"
Dan seisi gereja tertawa saat mendengar pertanyaan itu. Sedangkan, Taylor hanya memutar bola mata malu atas pertanyaan bodoh Harry.
-----
Ini ngetik di hape jadi, maap kalo banyak typo :D
Terus masalah pernikahan, itu ngarang semua. Wkwk maklumin aja yak.
Thanks udah baca :)
KAMU SEDANG MEMBACA
No Control
FanfictionMungkin semua tahu. Tak ada yang dapat mengontrol seorang Harry Styles, sebelum Taylor Swift datang dan mengubah segalanya.