#15 : Shoot

9.8K 871 32
                                    

Harry meminta Taylor untuk menemaninya menyelesaikan pekerjaan, setelah mereka berhasil mencapai lantai 13 dengan lift khusus yang di sediakan untuk hal-hal darurat. Taylor tak bisa melakukan apapun selain menuruti permintaan Harry. Pertama, Harry adalah atasannya. Bisa saja jika Taylor menolak, Harry akan memecatnya. Harry termasuk orang yang konsisten dengan ucapannya. Kedua, sejujurnya, Taylor mencemaskan Harry. Wajah Harry saat ke luar dari lift sangat pucat.

Taylor hanya duduk di sofa, tempatnya biasa bekerja, memperhatikan Harry yang tengah mengetik sesuatu di laptopnya. Taylor menghela nafas. Dia mulai bosan. Sudah hampir satu jam dia berada di sana, memperhatikan Harry yang bekerja tanpa melakukan apapun. Taylor lebih baik disuruh membantu Harry daripada harus memperhatikan seperti ini. Tapi, Harry tak mau dia melakukan apapun.

Akhirnya, Taylor memutuskan untuk mengeluarkan ponselnya dan memainkan permainan yang ada di ponselnya. Saat tengah bermain, tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke nomor Taylor. Taylor segera mengangkat panggilan tersebut, tanpa beranjak dari tempatnya. Harry melirik Taylor.

"Hai, Liam. Maaf, maaf." Harry menyatukan alisnya. Liam? Apa Taylor tengah berbicara dengan Liam Payne?

"Tentu saja. Aku sangat tidak keberatan. Anggap saja sebagai permintaan maafku karena aku meninggalkanmu begitu saja tadi." Harry menyatukan jari-jari tangannya dan mengepalnya erat. Matanya masih melirik Taylor tajam. Taylor tampak tertawa oleh sesuatu yang orang bernama Liam itu ucapkan sebelum akhirnya berkata, "sampai bertemu di kantor besok siang, Liam. Semoga harimu menyenangkan."

Taylor mengakhiri panggilannya dan menyadari tatapan Harry tersebut. Taylor balas menatap Harry sambil bertanya sinis, "apa?"

Harry menggeleng-gelengkan kepalanya. "Liam Payne?"

Taylor mengedikkan bahunya. "Bukan urusanmu."

"Kau berkencan dengan Liam?" Harry kembali bertanya.

"Bukan urusanmu." Taylor menjawab dengan jawaban yang sama. Harry tiba-tiba saja bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Taylor. Taylor terkejut dan ikut bangkit berdiri, berusaha mengantisipasi akan apa yang terjadi. "Ke-kenapa kau berjalan ke sini? Bukankah kau harus menyelesaikan pekerjaanmu?" Taylor bertanya gugup.

Harry memicingkan matanya. "Jadi, kau berkencan dengan Liam?" Harry mengulang kembali pertanyaannya saat dia berhadapan dengan Taylor. Jarak mereka, mungkin hanya sekitar 30 centimeter.

Taylor melipat tangan di depan dada. "Bukankah aku sudah menjawab berkali-kali? Itu bukan urusanmu. Dengan siapapun aku berkencan, kau..." Taylor menghentikan ucapannya saat iba-tiba saja, Harry mendekat. Wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah Taylor. Taylor menelan ludah. "A-apa yang kau lakukan?"

"Jauhi dia." Perintah Harry dengan tegas. Taylor terkejut sebelum menggelengkan kepalanya dan mendorong dada Harry agar dia menjauh. "Kau tak punya hak sedikitpun untuk melarangku berteman dengan siapapun!"

Harry menganggukkan kepala. "Kalau begitu, tetaplah menjadi teman. Bersikaplah normal sebagai teman." Harry berbalik dan berjalan kembali menuju ke mejanya. Meninggalkan Taylor yang masih berdebar-debar karena kedekatan antara mereka tadi.

*****

Harry menyelesaikan pekerjaannya tepat pukul empat sore. Taylor masih duduk di sana, tampak tengah berada dalam sebuah pikiran yang dalam. Harry menutup laptopnya dan menghampiri Taylor. Harry mengulurkan tangan di hadapan Taylor. Taylor menatap tangan Harry tersebut dengan heran.

"Apa?" tanya Taylor sinis. Harry memutar bola matanya. "Sebagai tanda terima kasih karena kau sudah menemaniku bekerja hari ini, bagaimana jika secangkir kopi? Dan muffin jika kau mau."

No ControlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang