#36 : Lunch With Liam

6.8K 622 0
                                    

Harry dan Taylor baru saja menyelesaikan pertemuan mereka dengan salah satu klien dari perusahaan lain. Setelah itu, Harry segera mengajak Taylor ke luar dari restoran itu untuk menuju ke Styles Enterprise. Harry mengendarai mobilnya dengan kecepatan normal. Tak seperti biasanya. Sedari awal, mereka hanya diam saja. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Hei,"

Harry mencoba memecah keheningan. Matanya masih fokus menatap ke arah jalan. Secara perlahan, Taylor yang semula menatap ke kaca mobil bagian kanannya, beralih kepada Harry.

"Ya?" tanya Taylor. Harry menoleh singkat ke arah Taylor dan bertanya, "kau belum menjawab pertanyaan kelimaku tadi."

"Kupikir, pembicaraan kita sudah selesai sejak klienmu itu datang." Taylor menjawab santai.

"Tapi, kau belum menjawab pertanyaan terakhirku dan itu adalah pertanyaan yang paling kunantikan jawabannya." Harry menekankan. Taylor beralih menatap lurus ke depan. Taylor menundukkan kepala. Sial, perkataan ayahnya beberapa waktu lalu kembali muncul dalam benak Taylor. Mana mungkin Taylor berani melakukan hal itu. Taylor tak akan pernah berani menyakiti orang lain. Apalagi, orang itu adalah Harry. Harry yang walau terkadang menyebalkan, tetap saja dia orang yang baik menurut Taylor.

Untung saja, Harry tak benar-benar memaksa Taylor untuk menjawab pertanyaan itu. Mobil yang Harry kendarai sudah terparkir tepat di halaman parkir Styles Enterprise. Harry tak berujar apapun. Pria itu mulai melepas sabuk pengaman yang dia kenakan. Taylor melakukan hal yang sama. Keduanya melangkah memasuki Styles Enterprise.

Taylor hanya menundukkan kepala, seperti biasa. Berjalan di samping Harry adalah salah satu hal yang pastinya akan mengundang perhatian banyak orang, di manapun mereka berada. Harry adalah pria yang menawan. Hampir semua gadis rela melakukan apapun agar bisa berjalan berdampingan dengannya. Hampir semua gadis rela melakukan apapun agar bisa bersamanya.

Langkah Harry dan Taylor berhenti tepat di depan lift. Harry menekan tombol angka 13 sebelum beralih kepada Taylor. "Jika kau mau makan siang, silahkan saja. Ini sudah jam makan siang dan kau belum makan apapun sedari tadi. Kembali ke ruanganku pukul 1." Ujar Harry. Taylor menganggukkan kepala sebelum berbalik, berjalan menjauhi Harry, menuju ke kafetaria.

Sesampainya di kafetaria, Taylor mengedarkan pandangannya dan mendapati Liam yang duduk seorang diri, di tempat mereka biasa makan siang bersama. Taylor tersenyum lebar dan menghampiri Liam.

"Liam!" Taylor berujar penuh semangat. Liam menghentikan makannya dan beralih menatap Taylor. "Taylor?"

Kemudian, Liam bangkit berdiri dan memberikan sebuah pelukan hangat kepada Taylor. Taylor cukup terkejut atas tindakan Liam namun, akhirnya, Taylor malah balas memeluk Liam. Mereka berpelukan sebentar sebelum saling melepaskan diri dan duduk di bangku masing-masing.

"Aku tak tahu jika kau kembali lagi ke London. Kalau tahu kau kembali, aku bisa menjemputmu di bandara." Ujar Liam. Matanya tampak bersinar cerah. Senyuman melekat di bibirnya. Taylor terkekeh. "Aku tak mau merepotkanmu, Li. Terima kasih, sebelumnya."

"Maaf, aku sudah memesan makanan duluan dan sudah hampir menghabiskannya. Well, aku akan menunggumu selesai makan kalau begitu." Ujar Liam. Taylor kembali terkekeh sebelum bangkit berdiri dan berjalan menuju counter makanan. Taylor memesan menu makan siangnya dan kembali duduk di tempatnya semula.

Makanan Taylor sampai beberapa menit kemudian. Taylor segera memakan makanan pesanannya itu sementara Liam yang sudah selesai makan, sibuk memperhatikan Taylor dengan senyuman yang mengembang di bibirnya. Taylor makan cukup cepat. Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit bagi gadis itu untuk menghabiskan sepiring penuh spaghetti.

Setelah itu, Taylor meneguk habis jus jeruk pesannya. Liam terkekeh, melihat Taylor. Taylor terlihat sangat cuek. Dia tak peduli penilaian orang lain akan dirinya. Itu yang Liam sukai dari Taylor.

Selesai makan, Taylor menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sambil tersenyum kepada Liam. "Hei, apa kabar?" Taylor bertanya ceria. Liam mengangkat sebelah alisnya. "Bukankah harusnya itu pertanyaan paling pertama yang kau ajukan padaku sebelum kau makan tadi?" tanya Liam menggoda. Taylor terkekeh. "Maaf, maaf. Aku lapar dan tak terpikirkan olehku untuk bertanya seperti itu. Tapi, melihatmu sekarang, aku dapat menyimpulkan jika kau baik-baik saja."

Liam mengangguk. Senyuman tak luntur dari bibirnya. "Dari penglihatanku, aku juga dapat menyimpulkan jika kau baik-baik saja."

Taylor tersenyum lebar. "Lalu, apa saja yang kulewatkan selama dua minggu belakangan? Apakah ada sesuatu yang terjadi di sini dan hei, jangan katakan jika kau makan siang sendiri, selama dua minggu belakangan karena tidak ada aku!"

Liam mengernyitkan dahinya. "Sebenarnya tak ada hal apapun yang terjadi di sini. Semua berjalan normal dan ya, aku memang makan siang sendirian karena tidak ada kau."

Taylor berdecak. "Seharusnya kau mencari teman lain selain aku di sini, supaya kau tidak kesepian." Taylor melipat tangannya di depan dada. Liam terkekeh. "Aku tak butuh banyak teman, sejujurnya. Kau saja sudah cukup."

"Bagaimana dengan Harry?" Ekspresi wajah Liam berubah saat Taylor menanyakan hal tersebut. Taylor buru-buru menggelengkan kepala dan merutuki dirinya sendiri. Sepertinya, membawa nama Harry saat tengah bersama Liam maupun, sebaliknya adalah sebuah pantangan.

"Maaf, Liam. Aku tak bermaksud. Baiklah, bagaimana jika kita mengganti pembicaraan kita? Sebagai ganti aku tak menemanimu makan siang selama dua minggu, bagaimana jika aku mentraktirmu makan siang besok?" Liam tersenyum tapi, senyumnya sangat berbeda dari senyumannya sebelum Taylor menanyakan tentang Harry.

"Boleh saja." Jawab Liam singkat.

Kemudian, Taylor tak tahu apa yang harus dia bicarakan lagi dengan Liam. Sejak nama Harry muncul dalam pembicaraan mereka, Liam seperti asyik dengan pemikirannya sendiri. Taylor penasaran dengan apa yang Liam pikirkan. Apa Liam memikirkan tentang Harry? Apa dia masih mau berteman dengan Harry? Jika iya, tentu saja Taylor akan sangat senang hati melihat kedua pria yang dekat dengannya di London itu menjadi sahabat. Rasanya pasti sangat menyenangkan.

No ControlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang