Harry tak pernah bermain dengan kata-katanya. Tadi, Harry mengatakan jika dia akan memberikan banyak tugas untuk Taylor dan benar saja, Harry memberikan banyak tugas untuk Taylor. Tugas itu adalah menyusun dan membuat softcopy dari berkas-berkas yang ada di salah satu map. Taylor tak mau memprotes tugas dari Harry tersebut, mengingat dia adalah karyawan baru dan punya banyak kemungkinan untuk dipecat. Lagipula, sedari tadi, Harry juga terlihat berbeda dari biasanya. Dia terlihat sangat murung dan banyak pikiran.
Taylor menghentikan sementara pekerjaannya saat menyadari waktu makan siang telah tiba. Taylor menutup laptopnya sebelum berjalan menghampiri Harry yang duduk di mejanya, dengan kepala yang berada di tangannya. Taylor menarik nafas dan menghelanya perlahan. Taylor tak mau mengganggu waktu Harry namun, dia sudah benar-benar lapar sekarang.
"Harry, bolehkah aku pergi makan siang sekarang?" tanya Taylor lembut. Harry secara perlahan mengangkat wajahnya, menatap Taylor. Taylor terkejut. Pria itu terlihat sangat berantakan. Harry memberinya tatapan datar sebelum menganggukkan kepala. "Kembali secepatnya," perintah Harry. Taylor menganggukkan kepala dan segera berbalik, berjalan ke luar dari ruangan Harry.
Taylor berjalan menuju ke lift dengan penuh rasa penasaran, apa yang terjadi dengan Harry. Taylor lebih memilih melihat Harry yang dingin dan kaku daripada harus melihat Harry yang kacau seperti itu. Harry juga tak ke luar ruangan sedetikpun. Dia pasti tak akan ke luar walaupun, untuk makan siang. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
Lift berhenti di lantai dasar. Pintu lift terbuka dan Taylor berjalan ke luar dari lift, menuju ke kafetaria yang kebetulan berada tepat di sebelah kiri lift. Taylor membuka pintu kafetaria yang sudah tampak sangat ramai oleh para karyawan yang tengah beristirahat. Beberapa karyawan menyapa Taylor dengan ramah dan tentu saja, Taylor menyapa mereka balik.
Taylor berdiri di meja pesanan sambil melihat-lihat menu yang ada di sana. "Pasta." Taylor berkata kepada si pelayan kafetaria. Pelayan kafetaria itu menganggukkan kepala, tersenyum dan berkata, "tunggu beberapa menit, Miss. Pesananmu akan segera tiba." Taylor balas tersenyum. "Terima kasih."
Taylor berjalan berbalik dan mencari tempat duduk kosong, sampai seseorang melambaikan tangan kepadanya. Orang itu adalah Liam. Taylor tersenyum lebar dan menghampiri Liam yang tampak duduk seorang diri.
"Hai, Liam." Sapa Taylor sesampainya di dekat Liam.
"Hai, Taylor. Makan siang bersamaku? Silahkan duduk." Perintah Liam hangat. Taylor menurut dan menarik kursi yang berhadapan dengan Liam. Taylor duduk di sana.
"Steak di kafetaria ini sangat enak. Kau harus mencobanya," Liam memulai pembicaraan, dengan senyuman yang tak pernah lenyap dari bibirnya. Taylor mengerucutkan bibirnya. "Kau terlambat. Aku sudah memesan pasta." Taylor memasang wajah kecewa dan Liam terkekeh. "Tenang saja. Masih ada hari esok. Kau bisa memesan steak besok." Taylor tersenyum dan menganggukkan kepala.
Tak lama kemudian, pesanan keduanya datang. Liam memesan steak dan coca-cola sementara, Taylor memesan pasta dan dietcoke. Keduanya menikmati makan siang mereka masing-masing dengan tenang sampai menyisakan piring yang kosong. Mereka meneguk minuman masing-masing.
"Terima kasih sudah menemaniku makan siang, Taylor." ujar Liam setelah menghabiskan sebotol coca-colanya. Taylor menganggukkan kepala. "Terima kasih kembali. Kau orang pertama yang menemaniku makan siang di kafetaria ini. Kemarin, aku tak sempat makan siang dan tak punya teman makan siang."
"Kalau begitu, besok kita bisa makan siang bersama lagi, kan?" Liam mengangkat sebelah alisnya, menggoda. Taylor terkekeh. "Tentu saja bisa. Aku sangat senang mempunyai teman makan siang." Liam tersenyum.
"Oh, ya, bagaimana pekerjaanmu? Harry tidak memberikanmu tugas yang menyusahkan dan berat, kan? Jika iya, aku akan memintanya untuk meringankan bebanmu. Harry terkadang memang sangat keras kepada para karyawannya." Ujar Liam. Taylor diam sejenak, mengingat sesuatu saat Liam menyebut nama Harry tadi.
Buru-buru, Taylor bangkit berdiri. "Maaf, Liam. Aku lupa. Harry memintaku untuk langsung kembali ke ruangannya setelah selesai makan siang, bukannya bersantai-santai di sini. Aku harus kembali." Belum sempat Liam memberi komentar, Taylor sudah berbalik dan berjalan menuju ke meja pesanan. Liam memperhatikan Taylor yang berdiri di sana, mengeluarkan dompet dari saku roknya. Taylor membayar makan siangnya dan tetap diam di sana selama beberapa saat.
Liam mengernyitkan dahi, bingung kenapa Taylor masih berada di sana padahal, dia sudah membayar. Namun, pertanyaan itu terjawab saat si pelayan kafetaria memberikan kantung plastik berisikan sesuatu kepada Taylor. Taylor berjalan cepat ke luar dari kafetaria.
Taylor masuk ke dalam lift yang terbuka dan menekan tombol 13. Taylor menunggu sambil mengintip isi kantung plastik yang diberikan oleh pelayan kafetaria itu. Sebelum kembali ke ruangan, Taylor membelikan makanan untuk Harry. Taylor membeli steak, yang menurut Liam adalah menu terenak di kafetaria.
Taylor membelikan makanan untuk Harry karena Taylor tahu, Harry pasti tak akan ke luar dari ruangannya untuk makan siang. Harry pasti masih sibuk dengan pekerjaan dan pikirannya. Terkadang, Taylor kasihan dengan Harry. Faktanya, harta berlimpah dan jabatan yang bagus tak dapat menentukan kebahagiaan seseorang. Contohnya Harry.
Setiap Taylor menatap Harry, dia seakan menatap ayahnya, Scott. Ayahnya seringkali terlihat tertekan atas semua pekerjaan yang dia lakukan. Oleh karena itu, Scott sangat sering pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Memang sebagian besar mereka yang punya jabatan tinggi dan uang berlimpah, hanya dapat mendapat kebahagiaan-sementara-dengan alkohol. Menghilangkan kepenatan mereka setelah bekerja keras.
Lift pun terbuka sesampainya di lantai 13. Taylor segera berjalan menuju ke ruangan Harry. Taylor membuka pintu ruangan dengan perlahan dan benar saja, Harry masih berada di sana. Tatapannya sangat fokus pada laptop di hadapannya. Taylor tersenyum tipis dan menghampiri Harry. Taylor meletakkan makanan yang dia beli di atas meja, di samping laptop Harry. Harry terkejut dan melirik ke kantung plastik tersebut.
"Apa ini?" tanya Harry heran, sambil melihat isi kantung plastik tersebut.
"Steak." Jawab Taylor. Harry menatap Taylor. "Steak?"
"Ya. Untukmu." Taylor berkata ceria. Harry mengernyitkan dahinya. "Untukku?" Harry kembali bertanya bingung dan membuat Taylor memutar bola matanya kesal. "Untukmu, Mr. Styles. Aku tahu, kau pasti tak akan pergi makan siang jadi, aku membawakan makan siang untukmu. Kau tidak dapat bekerja seharian penuh tanpa makan siang. Kau harus makan, okay?"
"Tap-," Taylor memotong ucapan Harry dengan cepat, "terima kasih kembali, Harry. Selamat makan siang." Taylor berbalik dan berjalan menuju ke sofa, tempatnya bekerja tadi. Sementara, Taylor memang akan bekerja di sana, sampai Harry memberinya ruangan kerja.
Harry menatap Taylor tak percaya dan seulas senyuman muncul di bibirnya. Harry mengeluarkan isi kantung plastik tersebut, meletakkanya di atas meja. Sebelum mulai membuka penutup tempat makan tersebut, Harry menoleh kepada Taylor sambil berkata, "terima kasih, Taylor."
Taylor tersenyum dan Harry mulai memakan makan siang yang dibelikan Taylor tersebut, tanpa ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Control
FanfictionMungkin semua tahu. Tak ada yang dapat mengontrol seorang Harry Styles, sebelum Taylor Swift datang dan mengubah segalanya.