#20 : Duty

8.9K 788 6
                                    

"Aku tak mengerti kenapa kau bisa sampai di London sekarang. Apa yang membawamu kembali ke London, Malik?" Harry bertanya kepada Zayn, seraya meraih sepotong roti dan mengoleskan selai strawberry di permukaan roti tersebut. Mereka berdua tengah berada di ruang makan keluarga Styles.

Zayn menghabiskan terlebih dahulu roti yang berada di mulutnya sebelum menjawab, "Ibumu menghubungiku untuk datang ke sini. Katanya ada pengumuman penting."

"Pengumuman penting? Tentang apa? Kenapa aku tak tahu sama sekali?" tanya Harry terlihat sangat terkejut namun, Zayn hanya merespon dengan mengedikkan bahu. "Tak tahu. Tunggu saja sampai Ibumu bergabung bersama kita dan menjelaskan segala sesuatu yang terjadi." Harry menyetujui ucapan Zayn.

Tak lama kemudian, Anne Styles muncul dengan dress formal hitamnya. "Oh, my boys." Anne terlihat sangat ceria pagi ini. Dia memeluk Harry dan mengecup singkat pipi Harry, sebelum melakukan hal yang sama pada Zayn. Anne menarik kursi dan duduk di sana.

"Mom." Harry mulai menatap Anne tajam. Anne balas menatapnya namun, dengan tatapan sangat hangat. Dia sangat bahagia sepertinya.

"Ya, Son?" tanya Anne lembut.

"Apa yang membuatmu meminta Zayn untuk datang ke mari? Apa ada sesuatu?" tanya Harry tanpa basa-basi. Anne tersenyum dan menggelengkan kepala. "Tidak ada apa-apa, Harry. Hanya ingin Zayn ada di sini, mengingat dia adalah sahabat karibmu sejak kecil." Harry memandang Ibunya tak percaya. "Kau merahasiakan sesuatu dariku," Harry berujar sinis.

Anne beralih menatap Zayn yang hanya menatap dengan tatapan aku-tak-tahu-apapun sebelum kembali beralih menatap Harry. Anne menarik nafas dan menghelanya perlahan. Senyuman muncul di bibirnya.

"Harry...bagaimana dengan hubunganmu dan Taylor?" tanya Anne. Zayn tersedak dan Harry menunduk. Harry menghela nafas sebelum tersenyum tipis dan menjawab, "kami baik-baik saja, Mom. Sungguh." Senyuman Anne semakin melebar. Harry tak mengerti apa yang ada di pikiran Ibunya.

"Kalau begitu, kau harus mempertemukan aku dan orangtua Taylor secepatnya. Aku tak sabar melihat kalian berdua berada di altar." Harry tersedak dan Zayn menahan tawa. Harry memberi Zayn tatapan mematikan sebelum menoleh kepada Ibunya. "Mom, kau tahu, Taylor masih kuliah. Dia harus menyelesaikan kuliahnya."

Anne menyeringai. "Memangnya kenapa harus menunggu dia menyelesaikan kuliahnya? Tak ada larangan bagi para mahasiswa untuk menikah walaupun, mereka masih kuliah, kan?" Anne mengangkat sebelah alisnya. Harry menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Tak tahu harus berkata apa lagi.

"Aku ingin bertemu dengan Taylor hari ini. Bisakah kau membawanya saat makan malam nanti?" tanya Anne. Harry sudah tak dapat berpikir panjang lagi. Dia menganggukkan kepala.

*****

Liam dan Taylor duduk berdampingan di tepi danau, menatap ke arah teratai yang mengapung di permukaan air danau yang tenang. Terdengar sederhana tapi, Taylor menyukai hal-hal yang sederhana. Seperti ini.

"Taylor."

Liam memanggil Taylor lembut dan Taylor menoleh kepadanya. Liam tersenyum dan tangan Liam bergerak, menyingkap rambut Taylor ke belakang telinga. "Kau terlihat sangat memukau hari ini." Taylor tersenyum mendengar ucapan Liam. "Kau juga terlihat sangat memukau hari ini, Li." Balas Taylor. Liam terkekeh.

"Bagaimana pekerjaanmu dan Harry? Apa kau sudah mulai jera dengan sikapnya?" tanya Liam, memulai percakapan baru. Taylor menatap lurus ke arah danau dan berpikir. "Aku tak tahu apa aku harus jera akan sikapnya atau tidak. Aku mulai terbiasa."

Liam terkekeh. "Kau asisten pribadi terlama yang Harry punya. Biasanya, asisten pribadi Harry hanya akan bertahan kurang dari sepuluh hari. Tapi, kau? Lebih dari dua minggu. Itu hebat." Puji Liam. Taylor terkekeh. "Apa aku akan mendapat penghargaan atas semua ini? Kuharap aku mendapatkannya."

Keduanya masih asyik mengobrol tentang pekerjaan sampai akhirnya, ponsel Taylor bergetar. Taylor menghentikan pembicaraannya dengan Liam sebelum akhirnya meraih ponsel dan membuka pesan yang masuk. Dari Harry.

Makan malam di rumahku. Pukul 7. Tak ada penolakan.

Taylor mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut. Taylor menghela nafas dan membalas: Okay, sebelum kembali berbicara pada Liam.

"Sampai mana pembicaraan kita tadi?" tanya Taylor, memasang wajah cerianya lagi. Liam tersenyum dan meneruskan pembicaraan walaupun, pikiran pria itu mulai terganggu atas pesan yang masuk di ponsel Taylor itu.

*****

"Apa-apaan, Har? Kau mempunyai pacar dan kau tak memberitahuku sama sekali?" Zayn melipat tangannya di dada. Dia dan Harry tengah berada di ruang kerja Harry, di Styles Enterprise, mengingat Harry tak mau di ajak pergi oleh Zayn. Makanya, dengan sangat terpaksa, Zayn-lah yang mengikuti Harry.

Harry menggelengkan kepala. "Ini tak seperti yang kau bayangkan, Zayn. Rumit. Aku tak tahu harus dimulai dari mana jika harus menceritakan padamu." Zayn mengernyit, mendapati raut wajah temannya yang mulai terlihat depresi. Zayn menghela nafas.

"Siapa dia dan bagaimana kau bisa menemukannya?" Zayn memulai pertanyaan. Harry menatap Zayn malas-malasan.

"Taylor Swift. Dia asisten pribadiku yang baru." Zayn membulatkan mata dan menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Wow. Kau menjalin hubungan dengan asisten pribadimu! Sangat dramatis. Bagaimana bisa?!" Zayn terlihat sangat penasaran.

"Aku tak benar-benar pacaran dengannya, Bodoh! Aku hanya...well, aku dan dia membuat perjanjian. Jika aku membantu memberikan suntikan dana untuk usaha orangtuanya, dia akan membantuku apapun dan aku memintanya untuk menjadi pacarku, di hadapan Ibuku." Harry menjelaskan dan Zayn diam sejenak sebelum tertawa. Harry menatap sahabatnya itu dengan heran. "Kenapa kau tertawa?"

"Kau lucu. Kenapa kau harus melakukan hal seperti ini?"

"Ibuku akan menjodohkanku dengan anak temannya jika dalam waktu yang dia tentukan, aku tak mempunyai pacar." Harry menambahkan. Zayn kembali tertawa. "Hidupmu sangat dramatis, Styles. Seperti yang ada di film-film." Zayn berdecak. Harry memutar bola matanya.

"Tapi, bagaimana dengan gadis itu? Apa dia cantik? Jika dia cantik, ya, lanjutkan saja semua ini, mengingat selama beberapa tahun belakangan, aku tak melihatmu melirik gadis manapun. Aku hanya tak mau sahabat baikku ini kehilangan selera pada gadis." Harry melayangkan tatapan membunuh kepada Zayn. Zayn terkekeh.

Harry kembali menghela nafas. "Dia berusia dua puluh satu tahun. Tubuh ramping dengan tinggi sekitar 180 sentimeter. Rambut lurus blonde. Kulit putih pucat. Iris mata biru. Dia sangat polos dan selalu terlihat ceria." Harry menjelaskan, tiba-tiba saja bayangan atas Taylor muncul pada pikirannya. Apa yang sedang Taylor lakukan? Dia pasti bersama Liam saat ini.

"Cukup menarik tapi, aku tak bisa membayangkan dengan jelas." Harry mengangguk. "Kau akan melihatnya saat makan malam nanti."

*****

Liam mengantarkan Taylor kembali ke apartemennya pukul 5 sore atas permintaan Taylor. Sebenarnya, Liam mau mengajak Taylor untuk pergi ke pasar malam yang berada tak jauh dari danau tempat mereka bersama tadi tapi, Taylor menolak dan berkata jika dia harus kembali sebelum pukul 6.

"Terima kasih sudah menemaniku seharian ini, Li. Aku sangat beruntung bisa mengenalmu." Ujar Taylor seraya melepas sabuk pengamannya. Liam menganggukkan kepala dan tersenyum. "Sampai bertemu di kantor besok, Tay."

"Sampai bertemu besok, Li." Taylor membuka pintu mobil Liam dan ke luar dari mobil. Taylor melambaikan tangan kepada Liam, sebelum akhirnya mobil itu melaju menjauh. Taylor berbalik dan berjalan memasuki area apartemennya. Baru sampai di depan, Taylor sudah dapat memicingkan mata saat melihat pantulan bayangan dua orang pria yang berada di dalam mobil tak jauh darinya. Taylor mengernyit. Taylor sudah menyadari keberadaan dua orang itu sejak awal dia dan Liam pergi ke danau.

Taylor mengabaikan pria-pria itu. Taylor berjalan menuju ke kamarnya.

Sesampainya di kamar, Taylor meletakkan tasnya di atas meja rias dan melepaskan sepatu keds yang dia kenakan. Taylor juga melepaskan ikatan rambut yang mengikat rambutnya sebelum berjalan menuju ke bathroom. Taylor harus cepat-cepat mandi. Harry akan tiba kurang dari dua jam lagi.


No ControlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang