Taylor duduk di tepi ranjang tidur. Semalaman dia tak dapat tertidur. Perkataan Harry semalam jelas-jelas mengganggu pikirannya. Harry mengatakan jika dia menyukai Taylor dan itu sangat aneh. Mana mungkin Harry menyukai gadis seperti Taylor? Apa yang membuat Harry menyukainya? Apa yang menarik dalam dirinya? Apa Harry hanya bercanda? Tapi, jika iya dia hanya bercanda, kenapa dia tak tertawa? Kenapa wajahnya menampakkan keseriusan?
Pertanyaan-pertanyaan bodoh itu terus berputar-putar dalam benak Taylor, tanpa dapat dia kendalikan. Taylor dilema. Antara percaya atau tidak dengan apa yang Harry ucapkan.
Ponsel Taylor bergetar, menarik kembali Taylor ke dunia nyata. Taylor meraih ponselnya yang ada di atas meja. Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi dan Taylor belum bersiap-siap untuk berangkat ke kantornya. Taylor tak yakin, apakah dia siap untuk menghadapi Harry hari ini?
Taylor membuka pesan yang masuk ke nomornya tersebut. Pesan dari seseorang yang tidak berada dalam kontak telepon Taylor.
Tepat pukul 10, pastikan kau sudah berada di kantor, di ruanganku. Harry.
Taylor mendengus. Sepertinya, Harry sudah kembali ke Harry yang sebelumnya. Yang sangat suka memerintah dan tak suka mendapat penolakan. Harry yang semalam hanyalah bersifat sementara sepertinya. Padahal, sejujurnya, Taylor lebih suka Harry yang semalam. Harry yang mau terbuka dengannya walaupun, tidak keseluruhan. Tapi, Taylor senang jika harus berhadapan dengan Harry yang banyak bicara. Daripada Harry yang jarang bicara.
Taylor meletakkan kembali ponselnya di atas meja dan mulai bersiap-siap untuk bekerja.
*****
Taylor sampai di kantor pukul 9.30. Lebih awal tiga puluh menit dai perintah Harry. Taylor menyapa satu per satu karyawan yang dia temui sebelum akhinya, berhenti tepat di depan lift. Taylor menekan tombol 13 dan menunggu sampai akhirnya, pintu lift terbuka.
Liam muncul dari dalam lift dan tersenyum kepada Taylor. "Selamat pagi," sapa Liam. Taylor balas tersenyum dan berkata, "selamat pagi, Liam." Setelah itu, Taylor berjalan masuk ke dalam lift. Taylor berdiri di samping Liam yang juga menuju ke lantai 13, sama sepertinya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Liam seraya melihat lekat ke arah Taylor. Taylor menganggukkan kepala dan tersenyum. "Tentu saja. Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?"
"Kantung matamu berkata lain." Jawaban Liam membuat Taylor diam sejenak sebelum tersenyum lebar. "Aku tak bisa tidur semalaman. Itulah kenapa aku mendapatkan kantung di mataku."
"Apa yang membuatmu tak bisa tidur? Apa ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiranmu?" tanya Liam simpati. Taylor menggelengkan kepala. "Tidak ada apapun. Insomniaku pasti sudah sangat parah." Taylor terkekeh.
Pintu lift terbuka. Keduanya melangkah ke luar dari lift. "Aku tak tahu apa yang kau lakukan di lantai 13." Ujar Taylor.
Liam terkekeh. "Kau pikir, hanya Harry yang berada di lantai 13? Aku juga bekerja di sini. Ruanganku ada tepat di belakang ruangan Harry. Untuk mencapainya, kau harus melewati jalan yang satu ini." Liam menunjuk ke sisi kanannya. Taylor mengangguk mengerti. Ruangan Harry sangat mudah untuk dijangkau. Taylor hanya perlu ke luar lift dan berjalan lurus ke depan. Pintu ruangan Harry ada di sisi kanan.
"Kau mau menunggu Harry datang di ruanganku?" Liam menawarkan. Taylor menggelengkan kepala. "Tidak, terima kasih. Aku akan menunggu di ruang rapat di samping ruangannya. Ruang rapat itu tak pernah terkunci, kan?" Liam menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, sampai bertemu saat makan siang nanti, Taylor." Liam melambaikan tangan dan berjalan ke sisi kanan, menuju ke ruangannya. Taylor mulai melangkahkan kakinya menuju ke ruangan Harry saat sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Taylor."
Taylor menoleh dan mendapati Harry sudah berdiri di belakangnya, mengenakan setelan serba hitam, kecuali dasi yang berwarna merah. Taylor menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Harry membawa efek aneh pada dirinya. Taylor berusaha untuk tak menghilangkan bayangan tentang pengakuan Harry semalam tapi, bayangan itu muncul lagi.
Harry mengernyitkan dahi. "Apa yang kau lakukan? Kau menghalangi langkahku. Berjalanlah lebih cepat."
Harry berjalan melewati Taylor, menuju ke ruanganya. Taylor diam sejenak sebelum berbalik dan menatap punggung Harry. Harry menghentikan langkahnya tepat di depan pintu ruangannya. Harry menekan sidik jarinya pada alat pendeteksi sebelum menoleh ke arah Taylor.
"Pintu ini tak akan terbuka oleh siapapun kecuali aku dan atas perintahku." Harry berkata dingin. Taylor dengan cepat berjalan ke arah Harry. Harry masuk terlebih dahulu dan Taylor mengikutinya dari belakang.
Harry duduk di kursi kerjanya dan tanpa banyak bicara, dia meraih map yang ada di atas meja. Harry membuka map tersebut sebelum beralih menatap Taylor. Harry menyodorkan map tersebut kepada Taylor.
"Pekerjaanmu," ujarnya datar.
Taylor meraih map tersebut dan membuka isinya.
"Follow up segala kegiatan yang ada di map tersebut dan buat laporan. Harus selesai hari ini." Harry menjelaskan tanpa menatap ke arahnya. Harry seperti tak mau berlama-lama menatap Taylor.
Taylor menganggukkan kepala. "Di mana aku harus mengerjakan semua ini?" tanya Taylor.
"Di tempatmu biasa bekerja. Kau baru mendapatkan ruangan kerja minggu depan. Di lantai 11." Jawab Harry.
Taylor mengangkat sebelah alisnya. "Lantai 11? Kenapa tidak lantai 13? Maksudku, aku asistenmu dan kau yang memberiku pekerjaan. Bukankah lebih mudah jika kita berada di satu lantai yang sama?" Harry tak memberikan jawaban apapun. Taylor mendengus sebelum mulai berjalan kembali menuju ke sofa, tempatnya bekerja untuk sementara.
Harry telah kembali menjadi Harry.
*****
"Jadi, bagaimana pekerjaanmu sejauh ini?" Liam bertanya kepada Taylor, setelah memastikan jika gadis itu sudah menghabiskan menu makan siangnya. Taylor dan Liam memang sedang makan siang bersama lagi sekarang.
Taylor meneguk minumannya sebelum menjawab pertanyaan Liam. "Melelahkan."
Liam mengangkat sebelah alisnya. "Lalu, apa kau akan menyerah dan memutuskan untuk mencari pekerjaan lain?" tanyanya. Taylor terkekeh dan menggelengkan kepala. "Tentu saja tidak. Aku masih dalam proses adaptasi di sini. Aku yakin, aku bisa beradaptasi dengan baik nantinya."
Liam tersenyum mendengar ucapan Taylor tersebut. "Aku senang melihat semangatmu." Taylor terkekeh.
"Apa kau punya rencana untuk menghabiskan libur pertamamu besok?" tanya Liam tiba-tiba. Taylor mengedikkan bahu. "Aku tak tahu. Aku masih sangat baru di London jadi, sepertinya, aku akan bertahan di apartemen, bersih-bersih, mungkin."
"Apa kau mau melihat-lihat kota London? Aku bisa menemaniku ke tempat-tempat yang tak pernah kau kunjungi sebelumnya." Liam menawarkan diri. Taylor mengangkat kedua alisnya dan tersenyum lebar. "Benarkah? Kau tidak bercanda, kan?"
Liam tersenyum dan menggelengkan kepala. "Aku serius, Taylor. Aku juga tak punya rencana apapun untuk besok jadi, tak ada salahnya, kan?" Taylor menganggukkan kepala antusias. "Tentu saja! Aku sangat berterima kasih padamu. Aku tak sabar menunggu hari esok!"
KAMU SEDANG MEMBACA
No Control
FanfictionMungkin semua tahu. Tak ada yang dapat mengontrol seorang Harry Styles, sebelum Taylor Swift datang dan mengubah segalanya.