Taylor sampai di Styles Enterprise tiga puluh menit kemudian. Taylor memicingkan mata saat melihat kerumunan karyawan yang berada di depan lift. Taylor berjalan menghampiri mereka dan menepuk salah satu pundak karyawan. Karyawan itu menoleh kepadanya.
"Apa yang terjadi?" tanya Taylor tanpa basa-basi.
"Lift mati total. Tak bisa digunakan." Jawab karyawan itu.
"Kenapa tak menggunakan tangga darurat saja?" tanya Taylor, melingkarkan tangannya di depan dada. Karyawan itu menghela nafas. "Bukan itu masalahnya. Ada seseorang yang terjebak di dalam lift itu."
"Seseorang? Siapa?" tanya Taylor, bingung.
"Mr. Styles. Dia terjebak di sana. Kami sudah menghubungi 911 untuk meminta bantuan tapi, sudah hampir satu jam, tak ada yang datang." Taylor membulatkan matanya mendengar jawaban karyawan itu. Astaga. Harry? Terjebak di lift?
"Kau tahu di lantai berapa lift mati?" tanya Taylor, mulai cemas. Karyawan itu berpikir sejenak sebelum menjawab, "sepertinya lantai 9." Tanpa basa-basi, Taylor berlari menuju ke tangga darurat. Taylor menaiki tangga darurat tersebut, menuju ke lantai 9.
Sejujurnya, berjalan cepat, menaiki tangga 9 bukanlah sesuatu yang mudah. Di tambah lagi, Taylor wanita. Wanita itu lemah dan tidak mempunyai kekuatan seperti pria, kan? Tapi, tak peduli dengan kakinya yang sudah sangat lelah. Taylor melirik ke penunjuk arah yang ada di tiap sudut tangga.
Taylor menghentikan langkahnya dulu tepat di lantai 6. Taylor mengatur pernafasannya. Peluh mulai mengalir di sekujur tubuhnya. Entah kenapa, dia begitu mencemaskan Harry. Jadi, Harry memang benar-benar membutuhkan bantuannya. Jika tidak, mustahil Harry mengirimi Taylor pesan seperti itu.
Taylor mulai kembali berjalan cepat menaiki tangga. Taylor terus berusaha menyemangati diri, sampai akhirnya dia sampai di lantai 9. Taylor berjalan menuju ke lift di lantai 9 dan mendapati beberapa orang pria tengah berusaha membuka pintu dengan peralatan yang ada. Pria-pria itu mengenakan seragam Styles Enterprise, bagian mesin.
Sesampainya di dekat mereka, Taylor kembali mengatur pernafasan. "Apa...belum...bisa...terbuka?" Taylor bertanya, dengan satu helaan nafas di setiap kata. Pria-pria itu menoleh dan salah satunya berdiri, berhadapan dengan Taylor. "Kami mengusahakan yang terbaik." Ujarnya. Taylor menganggukkan kepala.
"Bisakah kau lebih cepat? Maksudku, kau tahu sendiri keadaan di dalam lift bagaimana. Bisa-bisa Harry mati kehabisan nafas jika terus berada di sana." ujar Taylor cemas. Pria-pria itu menganggukkan kepala.
Pria-pria itu berusaha keras menarik pintu lift hingga akhirnya, pintu bagian luar terbuka. Itu butuh waktu sekitar 15 menit jadi, sekarang, tinggal pintu bagian dalam-lah yang belum terbuka. Salah seorang pria mengetuk pintu bagian dalam sambil berkata, "Mr. Styles?" memastikan jika Harry baik-baik saja.
Tapi, tak ada balasan dari sana. Kecemasan Taylor semakin menjadi-jadi. Pria-pria itu mulai mengupayakan untuk dapat membuka pintu lift namun, usaha mereka masih sia-sia. Akhirnya, salah satu pria nekat untuk memanjat naik ke bagian atas lift, tanpa alat bantu apapun. Taylor mengernyit. Ini adalah pertama kalinya Taylor melihat adegan seperti ini.
Dengan waktu singkat, pria itu mencapai atas lift dan membuka penutup yang ada di atas sana. Pria itu masuk ke dalam lift dan mencoba memeriksa apa yang terjadi. Taylor menunggu dengan cemas. Jari-jari Taylor menyatu, berdoa semoga tak terjadi apa-apa dengan Harry di dalam sana.
Tak lama kemudian, entah apa yang dilakukan pria di dalam sana, pintu lift mulai terbuka dan Taylor membulatkan mata melihat pria itu tengah membopong Harry yang memejamkan mata. Harry pingsan?
Pria itu membaringkan Harry tepat di depan pintu lift dan Taylor mulai duduk di dekat Harry. Wajah Taylor terlihat sangat kalut. Taylor mendekatkan telinganya di dada Harry, berusaha mendengar detak jantung Harry. Wajah Taylor memucat. Taylor bangkit duduk dan menatap Harry yang masih memejamkan matanya.
Taylor menatap ke arah pria-pria yang membantu membukakan lift itu dengan panik. "Tak ada detak jantungnya." Taylor berujar datar, wajahnya benar-benar kalut. Taylor menatap Harry dengan teliti sampai tak sadar saat setitik air mata mulai jatuh dari pelupuk matanya. Taylor menggeleng-gelengkan kepalanya lalu, mengguncang-guncangkan tubuh Harry.
"Harry! Bangun! Kau tidak boleh mati! Aku baru seminggu bekerja untukmu! Siapa yang akan jadi bosku saat kau mati?!" Taylor berkata histeris, terus mengguncang-guncangkan tubuh Harry. Air mata semakin deras mengalir ke luar dari pelupuk matanya. Pria-pria di sekitar Taylor menundukkan kepala, berusaha menunjukkan sikap simpati.
"Harry jangan mati! Ayolah, bangun! Jangan mati, kumohon!" Taylor sangat terguncang. Taylor menangis di dada Harry, menangis dengan sangat keras sambil terus berkata histeris, "jangan mati, Harry! Jangan mati! Aku tak mau kau mati!"
Taylor menghentikan tangannya saat sebuah tangan menyentuh kepalanya.
"Siapa yang mati, Bodoh?"
Taylor mengangkat kepalanya dan tersenyum lebar saat melihat Harry yang sudah terbangun dari pingsannya. Harry baru hendak mencoba untuk bangkit duduk saat Taylor tiba-tiba saja memeluknya erat. Sangat erat.
"Terima kasih, Tuhan! Kau baik-baik saja, kan? Kau tahu? Kau membuatku cemas setengah mati saat mendapat pesan darimu." Harry diam dan menyadari sesuatu yang basah menyentuh pundaknya. Harry melirik sekilas Taylor yang masih memeluknya. Taylor menangis? Hanya karena hal ini? Sebuah senyuman tipis muncul di bibir Harry.
Harry baru hendak balas memeluk Taylor saat menyadari ada sekitar tiga orang karyawannya berdiri, memperhatikan mereka. "Aku baik-baik saja, Taylor. Lepaskan aku." perintah Harry dan Taylor melakukan perintahnya dengan cepat. Taylor tersenyum, menampilkan gigi-gigi putih bersihnya. "Maaf. Aku terlalu senang melihatmu baik-baik saja."
Harry bangkit berdiri dan menatap ketiga karyawannya tersebut. "Perbaiki lift itu secepatnya. Jika kejadian seperti ini terulang lagi, silahkan angkat kaki dari kantor ini." ujar Harry dingin. Ketiga karyawan itu menganggukkan kepala sebelum mulai memasuki lift, mencoba memperbaikinya. Taylor berdecak pinggang. "Kenapa kau mengancam mereka seperti itu? Seharusnya kau berterima kasih! Mereka yang menyelamatkanmu! Jika tak ada mereka, kau pasti mati kehabisan oksigen di dalam sana!"
Harry mengalihkan perhatiannya kepada Taylor. Taylor balas menatap Harry tajam. Harry baru sadar. Dari sekian banyak karyawan yang ada di Styles Enterprise, satu-satunya yang berani bertatapan langsung dengan Harry adalah Taylor. Hanya Taylor.
"Kau ke ruanganku." Perintah Harry kepada Taylor. Taylor menggelengkan kepala dan menyeringai. "Maafkan aku, Mr. Styles. Seharusnya aku tak berada di sini sekarang. Hari ini adalah hari liburku. Jadi, kau tak bisa memberikanku pekerjaan di hari libur." Taylor berujar tanpa rasa takut sedikitpun.
Harry mengernyit. "Aku atasanmu."
Taylor menganggukkan kepala. "Ya dan di kontrak kerjaku tertulis jika aku mendapat jatah libur di tiap hari Minggu."
Harry berdecak. "Lalu, apa yang kau lakukan di kantor sekarang?"
Taylor memutar bola matanya. "Bodoh! Aku ke sini karena kau mengirimiku pesan yang langsung membuatku panik dan cemas! Kau meminta pertolonganku!"
Harry mengangkat sebelah alisnya. "Aku tak ingat jika aku mengirimimu pesan." Harry berpikir sejenak sebelum menyadari jika dia memang mengingat jika dia memang sempat mengirimi pesan ke beberapa orang sebelum ponselnya mati total.
Taylor menghela nafas, mencoba bersabar. Taylor memutuskan untuk berbalik dan hendak berjalan menuju ke tangga darurat kembali. Namun, belum sempat melangkahkan kaki, sebuah tangan kekar meraih tangan Taylor, menahannya untuk pergi.
Taylor menoleh dan mendapati Harry yang tengah tersenyum tipis kepadanya.
"Terima kasih sudah mencemaskanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
No Control
FanfictionMungkin semua tahu. Tak ada yang dapat mengontrol seorang Harry Styles, sebelum Taylor Swift datang dan mengubah segalanya.