Hari ini adalah hari kedua untuk Taylor mulai bekerja di Styles Enterprise atau lebih tepatnya, hari pertama dia akan bekerja normal. Kemarin, dia sendiri bahkan tak mengerti dengan apa pekerjaannya. Harry menanyakan banyak hal kepada Taylor dan Taylor menjawab semua pertanyaan Harry, sejujur mungkin. Bahkan, Harry membatalkan beberapa rapat pentingnya kemarin, hanya karena ingin mendengar cerita Taylor lebih lanjut.
Hari ini, Taylor kembali datang pukul 8 pagi walaupun, Harry sudah memberitahunya untuk datang pukul 9 pagi, mengingat Harry akan datang sekitar pukul 9. Yang jelas, sebelum menyelesaikan pembicaraan panjang mereka, Harry meminta Taylor untuk datang besok karena Harry akan memberikan pekerjaan yang sesungguhnya kepada Taylor.
Taylor sampai di gedung Styles Enterprise pada pukul 8.15. Sesampainya di sana, Taylor segera masuk dan duduk di bangku tunggu, setelah beramah tamah dengan beberapa karyawan yang sudah tak asing lagi dalam ingatannya. Taylor menunggu Harry datang, sambil memainkan ponselnya. Tiba-tiba, seseorang datang dan duduk di samping Taylor. Taylor menoleh dan dapat melihat jelas, seperti apa rupa orang yang duduk di sampingnya.
"Hai." Sapa orang tersebut seraya tersenyum ramah. Taylor balas tersenyum ramah dan melambaikan tangan. "Hai."
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya orang tersebut.
"Menunggu bosku datang." Jawab Taylor santai.
"Bosmu?"
"Harry Styles." Taylor menjawab singkat dan orang tersebut tampak cukup terkejut saat mendengar jawaban Taylor. Sesaat kemudian, sebuah senyuman muncul di bibir orang tersebut dan tangannya tiba-tiba terulur kepada Taylor.
"Jadi, kau asisten pribadi Styles yang baru? Perkenalkan, aku Liam Payne. Aku salah satu supervisor di sini. Aku baru masuk lagi setelah cuti selama dua hari makanya, kau mungkin tak pernah melihatku." Orang tersebut menjelaskan. Taylor meraih tangan pria itu dan menjabatnya lembut. "Senang berkenalan denganmu, Mr. Payne. Aku Taylor Swift. Kau bisa memanggilku Taylor."
"Kau juga harus memanggilku Liam, kalau begitu." Liam terkekeh, begitupun Taylor. Mereka berdua saling melepaskan jabatan tangan masing-masing. "Ucapanmu sama persis seperti ucapan Harry kemarin, setelah aku memintanya memanggilku Taylor." ujar Taylor. Liam mengernyit. "Kau memanggilnya Harry?" tanya Liam ragu-ragu. Taylor menganggukkan kepala. "Dia yang memintaku memanggilnya seperti itu."
Liam memberikan Taylor senyuman yang sulit diartikan sebelum bangkit berdiri dari posisi awalnya. "Well, Taylor. Kuharap, kau bisa bertahan lebih lama dengannya, mengingat sangat banyak orang yang menyerah untuk menghadapi pria-berhati-es sepertinya. Sebenarnya, dia orang baik tapi, ya, kau tahu, keadaan yang mengubahnya seperti ini."
"Kau terlihat mengenalnya dengan sangat baik, Liam." Taylor menyimpulkan. Liam kembali tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Aku besar bersamanya. Tanpanya dan keluarganya, mungkin sekarang aku hanyalah seorang pengemis yang meminta belas kasihan orang lain di tepi jalan."
Obrolan mereka berdua terhenti saat suasana kantor tiba-tiba hening. Pintu masuk terbuka dan seorang pemuda berambut keriting dengan kacamata hitam yang menutupi mata indahnya memasuki area kantor. Pemuda itu melirik sekilas ke arah Taylor dan Liam sebelum memberikan gestur tubuh supaya Taylor mengikutinya. Taylor menganggukkan kepala dan bangkit berdiri.
"Sampai berjumpa nanti, Liam." Taylor melambaikan tangan singkat kepada Liam sebelum mengikuti Harry, masuk ke dalam lift.
Di dalam lift, hanya ada Taylor dan Harry. Mereka berdiri berdampingan dalam keheningan sampai akhirnya, Taylor memecahkan keheningan itu dengan berkata ragu-ragu. "Se-selamat pagi, Harry." Harry diam sejenak sebelum menoleh ke arah Taylor sambil berkata, "kupikir, kau lupa cara untuk menyapa atasanmu."
Taylor mengernyit. "Maksudmu?" tanya Taylor heran. Harry tak menjawab dan menatap lurus ke depan. Tak lama kemudian, pintu lift terbuka dan Harry berjalan mendahului Taylor, menuju ke ruangannya. Taylor mengikuti Harry. Taylor mati-matian berusaha untuk mengimbangi langkah kaki Harry yang terlewat cepat. Harry seperti berlari walaupun, faktanya dia hanya berjalan. Langkah kakinya sangat lebar.
Harry langsung masuk ke dalam ruangannya dan duduk di bangku tempatnya biasa duduk. Kali ini, tanpa menunggu persetujuan, Taylor menarik kursi yang berhadapan dengan Harry. Harry melepaskan kacamata hitamnya dan meletakkan kacamata itu di atas meja. Sekarang, Taylor dapat melihat jelas kedua bola mata indah miliknya.
"Pukul berapa kau tiba di kantor?" tanya Harry tanpa basa-basi.
"Delapan lima belas." Jawab Taylor tenang.
"Apa aku memintamu untuk datang seawal itu? Bukankah aku sudah memberitahumu untuk datang pukul sembilan?" Suara Harry terdengar sangat mengintimidasi.
"Kupikir, lebih baik aku menunggu satu jam daripada terlambat satu menit." Taylor bingung dengan pertanyaan Harry. Bukankah seharusnya Harry senang jika Taylor datang lebih awal? Itu berarti Taylor adalah karyawati yang disiplin, kan?
"Taylor, aku bosmu di sini jadi, kau menuruti semua keinginanku. Besok, datang pukul sembilan. Paling cepat kau sampai, pukul sembilan kurang sepuluh dan paling lama pukul sembilan lebih sepuluh. Jika kau datang tidak sesuai waktu yang sudah kutetapkan, kau akan mendapat sanksi langsung dariku." Harry memperingatkan dengan mata yang berkilat. Taylor mengernyitkan dahi. "Sanksi? Bagaimana bisa aku mendapatkan sanksi jika aku saja masih dalam masa percobaan? Aku belum menandatangani kontrak. Karyawati itu bilang, kontrak akan kutandatangani setelah satu minggu masa percobaan."
Harry menganggukkan kepala. "Ya. Itu kata karyawati itu. Bukan kataku, si CEO perusahaan ini. Kau asistenku dan kau harus menuruti semua keinginanku. Aku akan memastikan jika kontrakmu siap untuk ditandatangani hari ini jadi, kau bisa langsung menandatanganinya dan setelah itu, kau bekerja normal sebagai asistenku." Harry menjelasan. Taylor menatapnya tak mengerti. "Kau terdengar sangat keji."
Harry memberikan senyuman membunuhnya. "Kau bahkan baru berada di depan pintu masuk duniaku, Taylor. Apa kau takut dan berniat untuk mengundurkan diri sebelum semuanya berjalan semakin jauh?"
Taylor balas memberikan senyuman membunuh. Taylor menggelengkan kepala santai sambil menjawab, "aku sedang mencari kunci untuk masuk ke dalam duniamu, Harry, dan aku tak akan ke luar sampai aku menemukannya."
*****
Taylor menghela nafas sambil menyeka keringat yang membasahi dahinya. Padahal, ruangan ini ber-AC dan Taylor sudah mengatur suhu AC ketingkat kerendah tapi, tetap saja Taylor kepanasan. Sebenarnya bukan panas karena suhu tapi, Taylor kepanasan karena dia takut dia tak dapat menyelesaikan tugas yang Harry berikan kepadanya.
Taylor melihat jam yang tergantung di ruangan Harry. Ya, Taylor memang bekerja di ruangan Harry saat ini. Taylor duduk di sofa, dengan laptop yang berada di atas meja. Harry baru saja ke luar dari ruangan ini dan berkata jika dia harus menyelesaikan sesuatu dan akan kembali secepatnya. Meninggalkan Taylor sendirian di ruang besar, sepi, dengan tugas menumpuk.
Harry memerintahkan Taylor untuk mengetik semua hasil rapat yang Harry hadiri selama seminggu belakangan. Hasil rapat itu sangat banyak dan terkadang, tulisan tangan Harry yang tak terbaca membuat Taylor berpikir keras dengan apa yang harus dia ketik. Jam menunjukkan pukul 5 sore. Jam kerja Taylor seharusnya sudah berakhir tapi, Taylor bertekad untuk tidak pulang sebelum menyelesaikan pekerjaannya.
Taylor meneliti satu per satu kertas dan kembali menghela nafas. Sejak pukul satu siang, Taylor sudah mengetik nyaris seratus lembar kertas dengan tulisan yang berantakan. Sekarang, sisa sekitar dua puluh kertas lagi. Taylor tak mau meninggalkan kesan tak bertanggung jawab pada tugas pertamanya ini.
Waktu terus bergulir dengan cepat. Tepat pada pukul enam sore, Taylor menyelesaikan pekerjaannya. Taylor segera menyimpan pekerjaannya dalam folder khusus dan duduk menunggu kedatangan bosnya, Harry. Harry tak kunjung kembali. Entah apa yang harus dia selesaikan tapi, seharusnya dia kembali. Harry tak mungkin pergi, meninggalkan Taylor di sini sendiri, tak tahu apa yang harus dia kerjakan lagi, kan?
Taylor menghela nafas dan memutuskan untuk menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. Awalnya, hanya berniat untuk beristirahat namun, lama kelamaan, mata gadis itu terpejam sempurna dan membawa jiwanya memasuki alam bawah sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Control
FanfictionMungkin semua tahu. Tak ada yang dapat mengontrol seorang Harry Styles, sebelum Taylor Swift datang dan mengubah segalanya.